Tampilkan postingan dengan label SEJARAH ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH ISLAM. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Oktober 2019

BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA PASCA RUNTUHNYA DAULAH KHILAFAH

Gambar terkait
Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
Pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah (Ottoman) pada tahun 1924, tidak hanya membuat kegoncangan di dunia Islam. Di Indonesia masalah tersebut telah membuat gelisah umat Islam berikut para Ulama’. Umat Islam khususnya di Indonesia pada waktu itu amat merasa kehilangan seakan kehilangan induk yang selama ini melindunginya. Tulisan berikut membahas sepak terjang Umat Islam di Indonesia pasca runtuhnya Daulah Khilafah. Khususnya NU sebagai organisasi masa Islam terbesar di Indonesia. 

Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' Lahir
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar. 

Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Merembuk Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda. 
Hasil gambar untuk lahirnya nu
Tokoh Pendiri awal NU

Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud. Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut: 

Ra'is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari Wakil Ra'is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
A'wan : 1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding 2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang 4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya. 6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya. 8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar : 1. KH. Asnawi, Kudus 2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan. 4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. 6. KH. Hambali, Kudus.
Presiden : H. Hasan Gipo Penulis : H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo Bendahara : H. Burhan
Komisaris : H. Saleh Syami, H. Ihsan, H. Nawaw,i H. Dahlan Abd. Qohar, Mas Mangun

Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi Islam yang ingin terus menerapkan Syariah Islam secara kaffah di Indonesia pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah. Secara khusus, mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada Umat Islam di Indonesia.

1926-1929
Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh Umat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:

1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.
2. Beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya. 
 
Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai: Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri. Dan lain-lainnya. Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik. NU terus berusaha untuk menjadikan Syariat Islam panutan hukum sekalipun Penjajah Belanda tidak mengiginkan hal itu terjadi.

1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926. Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu. 

Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:

1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari.
2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar. 
Hasil gambar untuk pesantren nu tempo doeloe
Kesederhanaan pesantren tempo dulu

Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader dakwah yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU untuk menerapkan Syariat Islam (dari sini bisa kita lihat betapa NU merasa khawatir apabila Syariat Islam dijauhkan dari Umat Islam, lalu bagaimana dengan NU yang sekarang?). Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:

Madrasah Umum, yang terdiri dari: 
1. Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
2. Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
3. Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
4. Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
5. Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.

Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
Madrasah Qudlat (Hukum). Madrasah Tijarah (Dagang). Madrasah Nijarah (Pertukangan).
Madrasah Zira'ah (Pertanian). Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir). Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A'la (MIAI)

Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia. Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut:

Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII 
Gambar terkait
Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI)

Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama. Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum. Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri. Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan umatnya pasca runtuhnya Daulah Khilafah. Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.

1942-1952
Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
1. Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.
2. Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.
3. Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
4. Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.

Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.

Pembentukan Laskar Rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama'. Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Hasil gambar untuk Pembentukan laskar rakyat
Laskar Rakyat

Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.

Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia. Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya. Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45. Semangat Jihad fi Sabilillah menggelora di mana-mana. Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia. Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis, sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Gambar terkait
Partai Masyumi

Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:

Majlis Syura (Dewan Partai) Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan. 2. H. Agus Salim 3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim. 5. KH. Sanusi. 6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito Bendahara : Mr. R.A. Kasmat.

Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan Umat Islam untuk mencapai cita-citanya. Yaitu tegaknya Syariat Islam. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).

Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi partai.

Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan. Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.

Hasil gambar untuk partai NU
Partai NU
Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.

Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama' menjadi Partai Islam, dalam gerak langkahnya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama' pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU. Keberhasilan Nahdlatul Ulama' dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama' dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya.

Kesalahan yang terjadi dalam berpolitik pada waktu itu lebih disebabkan karena sistem kufur Demokrasi telah menjadi wadah bagi NU untuk menerapkan Syariat Islam. Inilah kesalahan mendasar hingga saat ini Umat Islam jauh dari kebangkitan. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru yang sekuler di tubuh NU, ketiadaan generasi penerus yang memperjuangkan tegaknya Syariah dan lain sebagainya. 
Hasil gambar untuk pemilu 1955
Partai-partai di Pemilu 1955

Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggota secara realita, terdaftar dan bertanda anggota secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama' membutuhkan anggota sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan yang kufur dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.

Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' yang memperjuangkan Syariat Islam sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik sekuler. Bersekutu dengan sistem kufur Jahiliyah yang bercokol di Tanah Air. 

Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik. Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.

Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan sekuler telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan yang sekuler kapitalistik. Padahal kehidupan semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama' pada awalnya. Sehingga kehidupan tersebut sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak terlalu tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan kufur. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.

Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada Khittah An-Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama' berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkut kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama' secara berlebihan dalam kegiatan politik Demokrasi yang sebenarnya tidak dikenal dalam politik Islam. Yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada Islam. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama' yang prihatin akan runtuhnya Daulah Khilafah, dan ingin menyelamatkan Umat dari keterpurukan.

Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hipothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama'. Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama' secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan memilih khittah Nahdlatul Ulama' tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982. Hal ini semacam trauma politik bagi Nahdlatul Ulama.
Gambar terkait
Dukungan warga Nahdliyin dalam Konferensi Khilafah 2007

Berpolitik dalam Islam adalah kewajiban bagi Umat Islam Khususnya para Ulama’. Tentunya politik (as-siyasah) yang dimaksud adalah politik Islam sesuai tuntunan dari Rasulullah SAW. Semestinya Nahdlatul Ulama’ saat ini harus tetap lurus diatas rel penegakan Syariah Islam secara total (kaffah) dalam bingkai Ideologi (mabda) Islam seperti dulu dan bukan yang lain. Memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam terwujud kembali, seperti yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW. Tentu akan memberikan kontribusi positif bagi Umat Islam di Indonesia pada khususnya, untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Sungguh, mabda Kapitalisme yang muncul dari akidah sekulerisme yang melahirkan sistem Demokrasi telah merusak segalanya. Hingga saat ini tulisan ini dibuat, Indonesia dengan potensi Islam yang ada yang dimiliki, masih dalam keterpurukan dalam berbagai sendi kehidupan. Masihkah hal ini berlarut – larut. Semoga kita semua tersadar untuk kembali mengagas persatuan Islam agar negeri ini tercapai cita - cita baldatun thoyibatun wa robbun ghofur, sekaligus menyingkirkan sistem kufur yang ada di negeri ini. [dari berbagai sumber sejarah]


Senin, 21 Oktober 2019

PIDATO PELANTIKAN BERKUALITAS KHALIFAH ABU BAKAR, AKANKAH TERULANG?

Gambar terkait
By: Wahyudi al Maroky (Dir. PAMONG Institute)

Ibarat minum kopi, tak kan ada yang bisa dituangkan dari teko jika isinya tak ada. Jenis yang bisa dituangkan dari teko pun tergantung apa isinya. Teko yang berisi kopi tak mungkin mengeluarkan anggur merah. Demikian juga teko yang berisi air susu tak mungkin mengeluarkan air comberan. Jadi teko hanya menuangkan apa isi di dalamnya.

Demikian juga manusia, ibarat teko ia akan menuangkan apa isi yang ada di dalamnya. Apa yang keluar dari ucapan seseorang adalah cerminan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Kalaupun akan ditutupi hanyalah bisa sebentar saja, tak kan bertahan lama, selanjutnya akan keluar juga aslinya.

Sebagaimana manusia biasa, seorang pemimpin pun dapat dinilai dari ucapan dan tindakan yang ditampilkannya. Jika ucapannya baik, setidaknya ia akan menyesuaikan ucapannya dengan tindakannya.

Betapa banyak pemimpin hebat yang dikenang dari ucapannya yang baik lalu dituangkan dalam kebijakan dan tindakan yang baik. Diantara ucapan yang baik dan terekam dalam catatan sejarah adalah ucapan Abu Bakar dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah pertama pengganti Nabi SAW dalam kepemimpinan negara.

Dalam pidatonya yang fenomenal, sang Khalifah menegaskan bahwa dirinya tak ingin menjadi pemimpin. Namun ia tak bisa menolak ketika Sahabatnya Umar Bin Khathab mengangkat tangannya dan diikuti para sahabat senior lainnya menunjuknya jadi pemimpin. Sebagaimana penggalan pidatonya:
“Demi Allah, sesungguhnya saya tak pernah berambisi pada kekuasaaan meski sehari atau semalam dalam hidupku. Saya tak pernah menginginkannya. Saya tak pernah satu kali pun meminta kepada Allah baik secara terang-terangan maupun secara rahasia.”

Bahkan sang khalifah pun mengingatkan kepada semuanya bahwa ia bukanlah yang terbaik. Ia minta dikoreksi jika berbuat salah. Hal itu sebagaimana termuat dalam pidatonya yang fenomenal ketika usai di baiat (dilantik) menjadi khalifah.

Ia berdiri dan memuji Allah dan menyatakan syukurnya. Kemudian ia berkata, 

“Amma ba’du. Wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan BUKANLAH saya orang TERBAIK diantara kalian. Maka jika saya melakukan hal yang BAIK maka BANTULAH saya. Dan jika saya melakukan tindakan yang MENYELEWENG maka LURUSKANLAH saya. Sebab kebenaran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan.
Orng yang lemah diantara kalian adalah kuat dalam pandangan saya hingga saya ambilkan hak-haknya untuknya. Sedangkan orang yang kuat diantara kalian adalah lemah dihadapanku hingga saya ambil hak orang lain darinya, insyaAllah.
Dan tidak ada satu kaum pun yang meninggalkan jihad dijalan Allah kecuali akan Allah timpakan kepadanya kehinaan. Dan tidaklah menyebar kemaksiatan kepada suatu kaum kecuali akan Allah timpakan kepada mereka petaka.
Taatlah kalian kepadaku selama saya TAAT kepada ALLAH dan RASULNYA. Jika saya melakukan maksiat kepada Allah dan RasulNya maka tidak ada kewajiban taat kalian kepadaku…”

Dari pidato tersebut terdapat beberapa poin penting yang bisa kita jadikan teladan. Lebih dari itu bisa kita jadikan untuk mengukur kualitas kita dan pemimpin kita. Diantara poin penting tersebut;

PERTAMA, Pemimpin tak boleh merasa menjadi orang terbaik sehingga merasa hebat dan tak mau menerima saran maupun pendapat orang lain.

KEDUA, Pemimpin bukanlah manusia super yang bisa melakukan apa pun sendirian. Maka jika berbuat baik maka minta dibantu dan didukung. Dengan begitu semakin banyak orang yang turut berbuat baik.

KETIGA, Pemimpin harus bersedia dikoreksi dan dinasehati demi kebaikan bersama. Pemimpin bukanlah malaikat yang terbebas dari salah. Apalagi dalam sistem demokrasi sekarang yang konon kata salah seorang profesor terkenal bahwa malaikat pun masuk sistem kita bisa jadi iblis. Apalagi kita manusia biasa.

KEEMPAT, Pemimpin dengan kewenangannya harus melindungi pihak yang lemah. Jangan justru menekan dan menindas mereka.

KELIMA, pemimpin wajib ditaati selama ia taat kepada Allah Sang Pencipta alam semesta. Jika ia bermaksiat dan memerintahkan maksiat maka tidak wajib ditaati, justru wajib dinasihati. Karena maksiat mengundang bencana dan malapetaka.

Akankah pidato yang berkualitas itu akan terulang lagi di era sekarang? Ataukan pemimpin sekarang hanya berpidato formalitas karena tidak keluar dari dalam dada dan kepalanya, tidak keluar dari lubuk hati dan fikirannya? Kita nantikan saja.

Semoga negeri ini mendapatkan pemimpin yang taat kepada Allah sang pencipta alam, manusia dan segenap aturanNYA. Dan dengan ketaatan itu kiranya negeri ini senantiasa terlindung dari bahaya dan bencana. Semoga.

Kamis, 26 September 2019

JEJAK SYARIAH DAN KHILAFAH DI INDONESIA




Perang intelektual (ghozwul fikri) adalah perang yang unik dan rumit. Karena perang tersebut tidak menimbulkan kebisingan oleh letusan peluru dan bom, atau tidak menimbulkan kerusakan fisik, maka perang tersebut cenderung diabaikan oleh kaum Muslimin. Korban yang berjatuhan berasal dari seluruh lapisan masyarakat. Ada yang “tertawan” akalnya, “terbunuh” pikirannya, “babak belur” akal dan perasaannya dan semisalnya. Senjata dalam perang ini terdiri dari berbagai pemikiran yang dikemas dalam bentuk tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, dialog, perdebatan dan berbagai makar lainnya.

Diantara sarana efektif dalam perang ini adalah lewat jalur pendidikan. Lewat jalur pendidikan di era sekuler saat ini, dibeberapa institusi. Pemikiran generasi Muslim di “set” untuk mengikuti peradaban yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kebangkitan Islam yang hakiki adalah hal yang amat dibenci oleh kaum Sekuler-Kapitalis. Dalam hal sejarah, khususnya yang terkait dengan sejarah keemasan peradaban Islam, mereka rubah dan pelintir sedemikian rupa daripada yang sebenarnya. Mereka populerkan sejarah peradaban kufur Barat yang dikemas menarik, padahal penuh dengan racun kehidupan. Semua itu tentu dengan tujuan agar generasi Muslim yang ada tidak mampu berbuat banyak untuk meraih kejayaannya kembali. Bahkan yang ironi, malah ada yang malu untuk mengakui ke Islamannya, malu berperilaku Islami, malu bahkan takut untuk menjadi pejuang-pejuang Islam.

Sudah saatnya Umat Islam khususnya generasi muda Muslim yang sadar untuk menyambut perang pemikiran ini. Bagaimanapun kita tidak ingin melihat yang lebih buruk akan terjadi secara komprehensif. Allah SWT menjamin bahwa Islam akan tetap eksis hingga akhir zaman. Tapi Allah tidak menjamin –kalau umat acuh dalam membela Islam- bahwa Islam akan tetap eksis di kota kita, kampung kita, bahkan keluarga kita. Sudah saatnya pula kita untuk mengetahui dengan sesungguhnya sejarah kegemilangan Islam, yang akan mampu berkontribusi dalam menambah “ruh” dan semangat ber Islam serta juga mampu berdiri penuh kebanggaan dalam memperjuangkan Islam tegak kembali untuk memimpin dunia.

Berikut dipaparkan adalah Jejak Syariah dan Khilafah di indonesia, Insyaallah menyusul Perang Salib, Runtuhnya Khilafah Islamiyah 1924M, bahkan Isra Miraj dll secara berseri, diambil dari sumber yang khusus dan valid. Dalam paparan berikut, walaupun tidak menjelaskan secara detail karena penulisannya dalam bentuk nasyroh atau bulletin. Tapi mencakup segala sisi detailitas sejarah yang ada. Bismillahirrahmanir rahiim...

AWAL MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA

Islam masuk di Indonesia pada abad ke 7 dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke 7. Menurut sumber-sumber di Cina, menjelang akhirperempatan ketiga abad ke 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukimanArab Muslim di pesisir pantai Sumatera.

Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada tahun 100H (718M). Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Islamiyah era Bani Umayah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi:

“ Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu Raja, yang istrinya juga cucu seribu Raja, yang didalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang diwilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pahon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga jauh, kepada raja Arab yang tidak menyekutukan Tuhan dengan tuhan-tuhan lain. Saya telah mengirimkan pada anda hadiah, yang sebenarnya hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan hukum-hukumnya.”

Dua tahun kemudian, yakni tahun 720M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang pada tahun 730M, Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha

PENERAPAN SYARIAT ISLAM


Islam terus mengokoh menjadi kekuatan/institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya sebuah Kesultanan Islam yang bernama Kesultanan Peureulak didirikan tahun 1 Muharram 225H atau 12 November 839M. Contoh lain adalah Ksultanan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440M. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun rajanya sudah masuk Islam namun belum menerapkan Islam sebagai institusi politik. Kesultanan Ternate baru menjadi institusi politik Islam setelah Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486M. Kerajaan lainnya di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam.

Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram. Sementara di Cirebon dan Banten didirika oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara, penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima
Gambar terkait
Hasil gambar untuk kesultanan nusantara
Beberapa Lambang Kesultanan di Nusantara

Islam berkembang dan menjelma menjadi institusi politik, maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini nampak dalam bidang peradilan dengan diterapkan hukum Islam sebagai hukum negara yang menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad 17. A. C Milner mengatakan bahwa Kesultanan Aceh dan Banten yang paling ketat menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Sementara Mataram tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat Budha dan Hindu. Demikian pula Banten, hukuman pada pencuri dengan potong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas dilakukan di Banten pada tahun 1651-1680M di masa Sultan Ageng tirtayasa. Demikian pula, Sultan Iskandar muda di Aceh menerapkan hukum rajam bagi puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Sultan berkata: “mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari.” Kerajaan Aceh Darussalam memiliki UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alauddin dan Iskandar Muda memerintahkan kewajiban shalat lima waktu dan puasa secara ketat. Hukuman dijalankan pada siapa saja yang melanggar ketentuan.

Kesultanan Demak sebagai kesultanan Islam I di Jawa sudah ada jabatan qadhi di kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. Di Mataram, pertama kali dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Dialah yang mengubah peradilan pradata (Hindu) menjadi peradilan Surambi karena peradilan ini bertempat di serambi Masjid Agung. Perkara kejahatan dihukumi menurut kitab Kisas (Arab: qisas). Penghulu pada masa Sultan Agung memiliki tugas sebagai mufti, yaitu penasehat hukum Islam, sebagai qadhi atau hakim, sebagai Imam masjid raya, wali hakim dan sebagai Amil Zakat.

Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Deuruham (Arab: dirham) adalah mata uang Aceh pertama. Beratnya 0,57gram, kadar 18 karat, diameter 1cm, dan berhuruf Arab di kedua sisinya. Selain itu, di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326M).

Selain itu, di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297M-1326M) telah mengeluarkan mata uang emas, yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Secara umum di wilayah-wilayah Kesultanan di Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (Arab: qirad, mudharabah, mugharadhah) dan masih banyak lagi yang selaras dengan tuntutan Syariah.

Dalam bidang hubungan luar negeri, T W Arnold menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir cucu dari Malikus Saleh, menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga yang non-Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah kepada kesultanan. Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan bahwa Malikus Saleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran Islam seperti merayakan kelahiran anaknya dengan melakukan Aqiqah dan bersedekah kepatda fakir miskin, mengkhitankan anaknya dan melakukan tata cara penguburan mayat mulai memandikan, mengkafani, sampai menguburkannya. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah yang khusus menguraikan tentang fikih muamalah dalam bidang hukum pernikahan berdasarkan fikih Mazhab Syafi’i. Kitab ini dicetak di Turki. Uraian kitab ini dijadikan pegangan dalam pernikahan untuk seluruh wilayah Nusantara.

Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang memuat ketentuan fikih yang diantaranya Ihya’ul Mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara harus dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu tidak boleh seorang pun melarang orang lainmenggarap tanah tersebut kecuali memang di atas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah jadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini sesuai dengan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan negara dan siapapu yang yang mengarapnya adalah pemiliknya. Amat banyak keistimewaan-keistimewaan yang tak mampu di paparkan disini. Dengan demikian, sebagai kesimpulan umum, nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terealisasi secara menyeluruh dan sistemis. Kemakmuran, kedamaian, ketenteraman benar-benar bisa dirasakan pada waktu itu.

HUBUNGAN DENGAN KHILAFAH


Hasil gambar untuk hubungan jalur khilafah dan nusantara
Hubungan Khilafah dengan Kesultanan Nusantara
Institusi politik yang ada di Nusantara ini kelihatan memiliki hubungan dengan Khilafah Islamiyah. Diantara yang menunjukkan hal ini adalh saat Islam masuk di Indonesia, diantara pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh Khalilfah melalui walinya. Misalnya, pada tahun 808H/1404M. Pertama kali para Ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi) dari Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan Wali Songo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode.

Mereka adalah Maulana Malik ibrahim ahli tata negara dari Turki Utsmani, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana malik Israil dari Turki Utsmani, Maulana Hasanuddin dari palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai yang merupakan bagian integral dari Daulah khilafah Islam. Yang mengantar Syekh Maulana Malik ibrahim dan Maulana Ishaq ke tanah Jawa adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah pengusa Samudera Pasai antara tahun 1349-1406M. Pada periode 1421-1436M datang tiga da’i Ulama ke tanah Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syekh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu putri Raja Campa Kamboja (Sunan Ampel), kemudian Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Hasil gambar untuk hubungan jalur khilafah dan nusantara

Mulai tahun 1463M makin banyak da’i Ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas dakwah. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga ) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Ma’dum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qosim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur dikalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah Kesultanan yang akan menerapkan institusi politik islam tinggal menunggu waktu.

Hubungan tersebut juga tampak antara Aceh dengan Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa para raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki mau menolong mereka. Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada tempur yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu Aceh yang terkepung penjajah. Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas Jihad yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal perang yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki saat ini.
Gambar terkait
Lambang Khilafah Utsmaniyah di Turki
Hubungan ini tampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Kadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048H (1638M) dianugerhi gelar Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah tahun 1051H (1641M) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638M, Sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan Syarif Zaid di Makkah. Hasil misi ke Makkah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan Kesultanan Banten sejak awal adalah Darul Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah di istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan dari Syarif makkah.

Hubungan erat ini tampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanul Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa Kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya (1300-1922M). Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah untuk meminta bantuan meriam. Khilafah kemudian mengirim 500 orang pasukan Jihad dari Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567M, Sultan Salim II dari pusat mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgronye menyatakan, “ Di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama di Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar keseluruh penduduk Muslimin di Indonesia.”

Pada akhir abad ke 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Qur’an atas nama Sultan Turki. Di Istanbul juga dicetak tafsi al-Qur’an berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam.” Pada masa itu, yang disebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Islamiyah yang berpusat di Turki.
Pada masa itu, yang yang disebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Islamiyah yang berpusat di Turki. Sultan turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki. Selain itu, Snouck Hourgronye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat pada umumnya di Indonesia, terutama yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istanbul, kedudukan Khalifah utsmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih tetp dipandang sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikiran bahwa “Sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberi penghormatannya pada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah.

Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah era Abbasiyah di Mesir dan era Utsmaniyah di Turki telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudera Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Makkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram Jawa oleh Syarif Makkah. Seperti diketahui Makkah adalah bagian dari wilayah inti Daulah Khilafah Islamiyah. Dengan mengacu pada format sistem kekhilafahan saat itu, Syarif Makkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di makkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhan sebagai Sultan. Sebab Sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar Sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu di Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat Khilafah Utsmaniyah di Turki.

REDUPNYA PENERAPAN ISLAM

Berkembangnya dan diterapkannya Syariah Islam oleh hampir seluruh Kesultanan Islam di indonesia menyebabkan pemerintah Belanda berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkannya. Upaya-upaya sistematis segara disusun untuk merealisasikan rencana tersebut. Salah satu langkah penting yang dilakukannya adalah infiltrasi pemikiran dan politik melalui Snouck Hourgronye. Dia menyatakan musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama tapi Islam sebagai doktri politik. Selain itu juga Snouck Hourgronye, dalam ceramahnya di depan Civitas Akademia NIBA (Nederlands Indische Bestuurs Academie), Delft tahun 1911 memberikan penjelasan tentang politik Islam, yaitu: (1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersikap netral, (2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan, (3) Tiada satu pun bentuk Pan Islam (persaudaran Islam) boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Doktrin ketiga ini yang akhirnya mengilhami pemerintah Belanda memberangus setiap kelompok atau gerakan Islam yang berbasis politik, sekaligus menanamkan “image” yang dipaksakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan politik, atau politik harus dipisah dengan agama.
Dari pandangan Snouck tersebut diformulasikan strategi yang dipakai untuk melemahkan dan menghancurkan Islam yang meliputi 3 katagori:

Pertama, memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah Kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Banten langsung diserang dan dihancurkan oleh VOC. Setelah VOC dibubarkan tahun 1799M, dan diambil alih langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, maka keluarlah Ordonansi yang mencabut penerapan Islam di Banten. Seluruh penerapan Islam dicabut lalu diganti dengan peraturan kolonial.

Kedua, melalui kerjasama antara raja/sultan pengkhianat dengan penjajah Belanda. Pelaksanaan Syariah Islam tergantung pada sikap Sultannya. Di Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda. Kesetiaan Amangkurat I dengan Belanda dibuktikan dengan membantai 7000 Ulama dilapangan Surakarta. Perlawanan dilakukan oleh santri Giri dipimpin oleh Trunojoyo dan berhasil membunuh Amangkurat I. Pada masa Amangkurat II yaitu anak dari Amangkurat I, bekerjasama dengan VOC menyerang Giri Kedaton. Ulama serta santri di Giri dibantai bahkan semua keturunan Sunan Giri juga dihabisi.

Ketiga, Soft power, yakni dengan menyebarkan orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor Inlandsche Zaken yang lebih dikenal dengan kantor agama (penasehat pemerintah dalam masalah pribumi). Secara kasat mata nampak memperhatikan umat, tapi banyak mengeluarkan ordonansi (UU) yang seolah-olah Islami, padahal mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hourgronye.

Kantor ini selanjutnya mengeluarkan Ordonansi-ordonansi yang menghambat Islam dan perkembangannya. Sebagai contoh adalah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, ynag dimaksudkan agar politik tidak mencampuri masalah agama (sekulerisasi). Ordonansi Perkawinan tahun 1905, yang memberikan kesempatan kawin di catatan sipil, mewajibkan seseorang hanya beristri satu dengan menutup pintu poligami, sedang perceraian hanya jatuh bila dilakukan melalui peradilan. Ordonansi Pendidikan, yang bertujuan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang harus mampu menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Peraturan Islam dianggap merupakan rintangan yang paling besar. Ordonansi Guru, tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta ijin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923 merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.

Demikianlah secara langsung maupun tidak, Syariah Islam mulai diganti. Dalam bidang politik, pemerintahan dan kriminal, pemerintah Belanda langsung mengganti Syariah Islam dengan memberlakukan hukum Hindia Belanda. Sedangkan hal-hal yang bersifat pribadi atau privasi, menggunakan ordonansi yang fungsinya melemahkan Syariah Islam, mulai pernikahan hingga pendidikan.

PERHATIAN ULAMA DAN POLITISI ISLAM TERHADAP KHILAFAH


Hasil gambar untuk jejak syariah dan khilafah di nusantara
Keruntuhan khilafah dalam Nieuwsblad Hindia-Belanda
Belanda terus menghancurkan Islam. Namun, semangat persatuan Islam tak pernah pudar. Ketika Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Inggris pasca perang dunia I, melalui konspirasi politik jahatnya dengan Mustafa Kemal (seorang Yahudi Dunnama warga negara Khilafah pro Barat yang mengaku sebagai Muslim taat yang kebetulan memegang posisi militer strategis di tubuh Daulah Khilafah), dunia Islam mengalami kegoncangan. Upaya untuk mengakkan kembali Khilafah pun dilakukan. Tak ketinggalan juga Ulama-ulama dari Indonesia. Untuk menyatukan langkah perjuangan, para Ulama Indonesia pada tahun 1922M mengadakan kongres Islam di Cirebon dan pada tahun 1924M di Garut.

Berikutnya, pada tahun 1926M diadakan Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah (Konferensi Dunia Islam cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diadakan oleh Ibnu Saud. Tahun 1924M, Syarif Hussein Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 Sayyid ditambah 19 0rang perwakilan daerah negara lainnya. Dua orang perwakilan dari Jawi (Indonesia). Pada 13-19 Mei 1926M diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Indonesia hadir H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Pada 1 Juni 1926M, diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dengan kapal Rondo dan di elu-elukan oleh masyarakat. Teriakan Takbir dan seruan Khilafah mengiringi pelayaran mereka ketika itu. Sesampai di Tanjung Periuk, banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke Pelabuhan.
Hasil gambar untuk kongres khilafah 1926
Kafilah Hindia-Belanda menuju Kongres Khilafah Makkah 1926
Kongres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya

Kongres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya Raja Saud (yang merupakan agen Inggris) dalam sambutannya tidak mengiginkan dibicarakannya masalah Khilafah dalam kongres tersebut. Sehingga kongres akhirnya gagal. Ini semua menggambarkan bahwa para Ulama dan tokoh politik Indonesia ketika itu menaruh perhatian sangat besar terhadap tegaknya Khilafah kembali. Bukan hanya Ulama, bahkan orang Islam Indonesia tertarik pada persoalan Khilafah pasca Perang Dunia I. Kaum Muslim Indonesia memandang kekuasaan Sultan Turki sebagai Khalifah.

PERJUANGAN TAK PERNAH PADAM

Perjuangan terus berlanjut. Pada 6 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya Sarekat Dagang Islam. Inilah momentum yang semestinya dijadikan tonggak kebangkitan Indonesia, bukannya Budi Utomo yang berdiri tahun 1908, yang digerakkan oleh para didikan Belanda. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Sementara Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan.

Perjuangan terus berlanjut hingga menjelang kemerdekaan. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang Islam yang menghendaki Negara Islam dengan kalangan sekuler yang menolak penyatuan agama dengan negara. Ringkas cerita, yang terjadi adalah kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan bahwa negara dibentuk berdasar kepada “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sekalipun demikian, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, menegaskan beliau tidak menyetujui rumusan tersebut. Kata-kata bagi ‘pemeluk-pemeluknya’ harus dihapus. Cukup, dengan kewajiban menjalankan ‘Syariah Islam’. Tetapi, rumusannya tetap seperti itu. Jadi, perjuangan Islam berhasil dengan menetapkan pemerintah wajib menjalankan Syariah Islam bagi Umat Islam saja. Diantara tokoh yang menandatanganinya adalah Abikoesno Tjokrosujoso (Partai Sarekat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan KH A. Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama/NU).

Diproklamasikanlah Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya satu hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ‘dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret dalam sidang ilegal karena tanpa menyertakan para Ulama dan tokoh-tokoh politik Islam yang shalih sebelumnya. Panitia dalam sidang tersebut dikenal dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu Ulama mencabut restunya atas kemerdekaan Indonesia, karena merasa dikhianati. Kejadian yang menyolok mata ini, dirasakan Umat Islam sebagai suatu permainan ‘sulap’ yang diliputi kabut rahasia. Inilah awal dalam tubuh pemerintahan RI, tirani minoritas atas mayoritas Umat Islam. Pada 3 Januari 1946, urusan Islam hanya diurusi oleh satu kementerian. Didirikanlah kementerian Agama sebagai konsesi kepada kaum Muslim. Berikutnya 27 Januari 1953, Presiden Soekarno berpidato di Amuntai bahwa bila negara yang didirikan berdasarkan Islam, maka banyak daerah yang berpenduduk non-Muslim akan lepas. Pidato ini mendapat respon keras dari para tokoh dan organisasi Islam. Di antaranya NU, Front Muballig Islam, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Persis.

PB NU yang diketuai KH A. Wahid Hasyim menulis: “.....Pernyataan bahwa pemerintah Islam tidak akan dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam adalah merupakan perbuatan munkar yang tidak dibenarkan Syariah Islam dan wajib tiap-tiap orang Muslimin menyatakan ingkar atau tidak menyetujuinya.”

Kenyataan ini menegaskan bahwa NU sebagai organisasi para Ulama adalah salah satu pendukung Pemerintahan Islam dan pejuang-pejuang Syariah Islam. Cukup mengherankan bila ada yang membawa-bawa nama NU tetapi keras menentang aturan Allah yaitu Syariah Islam Betapa tidak, para tokoh NU dahulu berada di garda terdepan dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dengan semangat Jihad Fi Sabilillah, pada paruh akhir perang kemerdekaan demi tegaknya Syariah dan pemerintahan Islam. Tanggal 5 Juli 1959 keluarlah dekrit Presiden tentang kembali pada UUD 1945. Didalamnya ditetapkan juga,’.....Bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Gambar terkait
Naskah Piagam Djakarta
Syariah Islam terus disingkirkan. Berikutnya, perjuangan Islam semakin berat. Masyumi dibubarkan. Pada jaman Orde Baru, Islam di marjinalkan. Siapapun yang tegas-tegas menyuarakan Islam dituduh subversif dan dipandang sebagi musuh negara. Sekalipun di intimidasi, perjuangan Islam terus eksis bertahan. Pesantren merupakan benteng pertahanan terkuat. Berikutnya era 1980-an mulailah Islam menggeliat di kampus dan kota-kota besar seiring dengan tahun 1401H sebagai abad kebangkitan Islam. Dakwah Islam semakin semarak. Sejak momentum Reformasi, sekalipun sekulerisme Kapitalisme makin dihunjamkan, suara Islam justru makin nyaring terdengar. Seruan menerapkan Syariah Islam bergema di berbagai daerah. Muncullah Perda-perda (peraturan daerah) yang bernuansa Syariah Islam. Ekonomi berbasis Syariah pun mulai makin diminati. Seruan penyatuan umat ke dalam Khilafah pun makin nyaring terdengar.

Di Indonesia, selama puluhan tahun umat Islam di Indonesia dikebiri dan dibungkam oleh rezim Orde Baru. Sampai-sampai banyak umat Islam yang tidak mengetahui wajibnya menerapkan sistem khilafah sebagai jalan satu-satunya melaksanakan syariah Islam secara kaffah. Namun atas idzin Allah, fakta itu kini mulai berbalik. Ide-ide Islam berkembang sangat cepat, diluar yang diperkirakan kalangan penentang Islam. Tidak perlu waktu terlalu lama, ide Khilafah mulai mendapat tempat dihati umat Islam. Umat Islam bagai menemukan kembali “intan permata” yang selama ini hilang. Tidak bisa dipungkiri, terutama sejak masa reformasi, dakwah tentang Khilafah cukup gencar, baik lewat lisan, buku, bulletin, internet, dan media massa lain. Cahaya allah tak bisa dipadamkan.[dari berbagai sumber shahih]
Hasil gambar untuk jejak syariah dan khilafah

TAKKAN ADA KEMULIAAN TANPA ISLAM, TAKKAN SEMPURNA ISLAM TANPA SYARIAH, TAKKAN TEGAK SYARIAH TANPA DAULAH KHILAFAH

Senin, 23 September 2019

KHILAFAH YANG MENYATUKAN, KHALIFAH YANG MELINDUNGI


By: Ustadz Felix Siauw

Pernahkah kita membayangkan bahwa pada satu masa yang panjang, kaum Muslim di seluruh dunia pernah bersatu padu dalam satu ummat? Pada kenyataannya ummat Muslim memang pernah bersatu dalam kurun waktu sekitar 1300 tahun lamanya. Bermula dari kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW pada 622 M di Madinah dan berakhir pada Kekhilafahan Utsmaniyyah tahun 1924 M di Turki.

Terbayangkah kita bagaimana kekuatan ummat Muslim saat mereka bersatu? Allah limpahkan berkah pada mereka dan kebaikan dunia-akhirat, kekuatann yang tiada bandingannya dan kehormatan serta kemuliaan, disegani lawan dan disukai kawan. Dengan pemimpin yang satu, kepemimpinan yang satu, bendera yang satu | aturan yang satu, rasa yang satu, dan komando yang satu

Masa-masa bersatunya kaum Muslim itulah masanya Khilafah Islam mewujud, dengan Khalifah sebagai pemimpin yang melindungi ummat Muslim. Pada masa itu darah dan kehormatan kaum Muslim dilindungi oleh Khalifah, begitupun dengan darah dan harta kaum kafir dzimmi didalamnya (kaum kafir yang damai yang hidup di negara Islam, mereka membayar jizyah dan tunduk pada aturan syariah Islam)

Bahkan saat Khilafah sedang berada dalam kondisi lemah karena konflik internal-eksternal yang tak kunjung usai, tetap saja Khalifah yang saat itu dijuluki “Sick-Man of Europe” masih punya taji dan kekuatan. Misalnya, pada 1889 seorang penulis drama asal Prancis Henri de Bornier berencana mementaskan drama yang bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad saw.

Saat berita itu sampai kepada Khalifah, maka Khalifah Abdul Hamid II melalui duta di Paris pada saat itu Es’at Pasha, segera meminta agar drama tendensius itu dibatalkan pementasannya karena hal itu menyakiti perasaan ummat Muslim. Setelah keberatan dan protes dari Khalifah diberitahukan, Perdana Menteru Prancis Charles de Freycinet melarang pementasan drama itu di Prancis pada 1890

Dilarang di Prancis, Henri de Bornier tidak kehabisan akal lalu berencana mementaskan drama yang sama di Inggris. Maka, sekali lagi Khalifah meminta pemerintah Inggris agar melarangnya, dan memberitahukan bahwa Prancis pun sudah melarang pementasan yang sama karena drama itu adalah penghinaan bagi Nabi Muhammad SAW.

Diluar dugaan Khalifah, Inggris menolaknya dengan alasan tiket-tiket telah dijual dan pembatalan itu bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi (freedom of act and speech) yang diyakininya

Mendengar jawaban itu Khalifah Abdul Hamid II lalu menyampaikan pada pemerintah Inggris bila tetap bersikeras atas pernyatannya. Khalifah Abdul Hamid II lalu berucap:

“saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkankan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! saya akan kobarkan Jihad Al-Akbar”

Dengan ancaman itu Inggris pun serta merta membatalkan niatnya mementaskan drama besutan Bornier. Begitulah kesatuan Muslim dalam Khilafah dapat menjaga kehormatan mereka.

Clifford Edmund Bosworth, seorang orientalis dan sejarawan asal Inggris pada 1970 berkomentar tentang hal ini dalam bukunya “A Dramatisation of the Prophet Muhammad’s Life: Henri de Bornier’s Mahomet'” halaman 116

“Since Bornier’s time, no major European dramatist seems to have essayed a play on the life of the Prophet”

Beginilah pemimpin seharusnya melindungi kehormatan ummat Muslim, tidak seperti sekarang saat pemimpin-pemimpin kaum Muslim banyak diam dan tak berbuat apapun saat penghinaan pada Nabi begitu marak

Khalifah Abdul Hamid II yang memimpin Khilafah adalah Khalifah terakhir, namun walaupun dalam kondisi yang sangat lemah, Khilafah tetap disegani bangsa Eropa. Ini membuktikan bahwa pemimpin yang amanah yaitu Khalifah, hanya akan bersinar dalam sistem yang amanah yaitu Khilafah.

Khalifah adalah pemimpin kaum Muslim yang bertindak berdasarkan Islam, seorang pemimpin bagi kaum Muslim seluruh dunia yang berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kita pahami bahwa Rasulullah meninggalkan pada kita 2 hal yang kita takkan tersesat bila kita berpegang teguh pada keduanya, dan 2 hal itu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka harusnya Al-Qur’an tidak hanya dijadikan panduan bagi pemimpin semata, tapi juga jadi panduan dalam sistem kepemimpinan kaum Muslim. Hanya dengan pemimpin amanah yaitu Khalifah dan sistem kepemimpinan amanah yakni Khilafah kehormatan kaum Muslim akan terjaga mulia.

Kabar baiknya, Rasulullah mengabarkan bahwa Khilafah dan Khalifah yang berdasar manhaj kenabian ini akan bangkit sekali lagi.

“adalah Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit, yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya bila Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa (diktator), yang ada atas kehendak Allah, lalu Allah mengangkatnya, bila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam”
(HR Ahmad)

Maka bagi kitalah diamanahkan dan diberikan kehormatan perjuangan ini, yaitu akan kembalinya Khilafah yang menaungi ummat Muslim. Khilafah adalah sistem kepemimpinan Islam yang amanah, yang hanya membolehkan pemimpin beriman amanah yang memimpin, tidak selainnya. Dengan sistem kepemimpinan Khilafah inilah, Khalifah akan menerapkan syariah bagi seluruh ummat. Dengan itu insyaAllah keberkahan bagi semuanya.

Jumat, 13 September 2019

BAGAIMANA KHILAFAH MENYELESAIKAN UTANG?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Utang ada yang diperbolehkan dan tidak. Utang yang diperoleh pada siapapun, baik domestik maupun asing, boleh dilakukan, dengan syarat tidak disertai riba. Karena akad utang riba tersebut jelas batil, dan haram. Utang yang diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara' juga tidak boleh, misalnya dengan konsesi penguasaan hak milik umum tertentu untuk diserahkann kepada pemberi utang.

Jika utang tersebut sah, secara syar'i, maka utang-piutang tersebut boleh. Jika tidak sah, maka utang tersebut jelas tidak boleh. Meski demikian, dua-duanya wajib dibayar, karena pembayaran ini merupakan pengembalian hak oleh penerima utang, kepada pemberi utang. Dengan catatan, jika ada riba, atau syarat lain yang bertentangan, maka riba atau syarat lainnya harus dibatalkan. Dengan begitu, yang wajib dikembalikan hanya uang pokoknya saja.

Allah SWT telah mewajibkan kita, baik sebagai individu maupun penguasa di dalam khilafah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar sesama Muslim maupun dengan orang-orang atau negara kafir. Dengan catatan, selama transaksi atau akad tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." [TQS Al-Ma'idah 5: 1].

Ayat ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara, adalah salah satu jenis transaksi [akad]. Jika individu, perusahaan ataupun negara, melakukan utang-piutang dengan pihak lain baik dengan perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara lain maka mereka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi tersebut selesai [berakhir].

Di samping itu, negara khilafah, tatkala baru berdiri, harus memperhatikan konstelasi politik internasional. Dalam hal ini, khilafah harus menciptakan citra di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai negara yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan memeranginya. Salah satu manuver yang dilakukannya untuk menarik simpati masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar utang pokok sebelumnya.

CARA BAYAR HUTANG

Lalu, bagaimana caranya khilafah membayar sisa cicilan utang pokoknya, dari mana uang yang diperoleh untuk membayar utang-utang sebelumnya? Untuk menyelesaikan masalah ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain:

1. Harus dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar utang tersebut. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar.

Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa sebelum munculnya khilafah, maka khilafah sebagai penguasa baru harus mengambilalih sisa cicilan pembayarannya, sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara goverment to government.

2. Sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga.

Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبٰوٓا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. [TQS. al-Baqarah 2: 278].

Ayat ini mengharuskan khilafah, individu maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.

3. Meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, khilafah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak pemberi utang bersedia memberikan cut off (pemutihan).

Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban negara. Namun, bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta reschedurescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).

4. Utang sebelumnya, akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh 'rezim ' sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan oleh negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat ini, 'lebih dari cukup ' guna memenuhi warisan utang luar negeri 'rezim' sebelumnya. Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, khilafah harus mengambil- alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara.

Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara. Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagai-nya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa 'rezim' sebelumnya, bukan rakyatnya.

5. Sementara itu, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar negerinya, khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.

Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan mereka di luar negeri, negara bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan utang-utang mereka. Namun. bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambilalih dan menalangi utang-utang
mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (ra'in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.

Demikianlah, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh khilafah guna mengatasi beban utang luar negeri 'rezim ' sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengganggu gugat harta kekayan yang dimiliki oleh masyarakat, yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Penyelesaian ini, secara bersamaan, akan menjatuhkan cengkraman negara-negara Barat kapitalis atas negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslim bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.

Namun demikian, perlu diingat, bahwa hal ini hanya bisa dilakukan tatkala khilafah sudah berdiri. Sebab. saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian banyak penguasa Muslim, yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya. Bahkan, para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun alternatif pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi. [ ]