By: KH. Hafidz Abdurrahman, MA
Membicarakan sosok manusia sempurna tidak akan pernah bisa mendekati kesempurnaannya. Karena tak sanggup lisan menggambarkannya, pun pula pena dan tinta tak kan pernah mampu melukiskannya. Dari namanya, Muhammad, kita tahu, bahwa dia bukan hanya memiliki satu atau dua kebaikan yang layak dipuji, tetapi kebaikannya itu tak terbatas.
Maka, tinta dan pena pun tak kuasa melukiskan manusia sempurna yang paling kita cintai, karena baginda saw. bukan sekedar pemimpin politik yang mempunyai ambisi untuk rakyatnya, menyampaikan gagasan kepada para pengikutnya untuk mendirikan sebuah negara di salah satu penjuru dunia. Tidak sekedar itu, tetapi baginda saw. adalah seorang Rasul, yang diutus oleh Allah, untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.
Karena itu, tak kuasa tinta dan lisan mengungkap kesempurnaannya, karena baginda saw. tak sekedar kepala negara yang mempunyai tentara, perbendaharaan, dan sebagainya. Tetapi, baginda saw. adalah wujud kasih sayang Allah yang dianugerahkan kepada alam semesta, dan nikmat yang dihamparkan untuknya. Iya, itulah sosok manusia sempurna, Muhammad saw. Manusia maksum, yang dilapangkan dadanya, diangkat nama dan kemuliaannya.
Dialah sosok Nabi terakhir, yang kepadanya Jibril dan wahyu turun, imam para Nabi dan Rasul. Dimuliakan oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Dia dimikrajkan hingga ke Sidratil Muntaha, pemilik syafaat kubra, kedudukan yang agung dan mulia, pemilik telaga dan bendera. Itulah mengapa, betapapun hebatnya lisan dan tulisan mengungkap sosoknya tak kan sanggup menjangkaunya.
Tanda-tanda kesempurnaan itu tampak sejak saat kelahirannya. Dilahirkan di Makkah, Senin, 12 Rabiul Awwal tahun gajah, bertepatan 20 April 571 M. Sejak di dalam kandungan, usia 6 bulan, ayahnya wafat. Saat kelahirannya, sebagaimana dituturkan oleh al-Baihaqi, ibunya bermimpi keluar cahaya dari tempat kelahirannya, memancar ke Syam. Api yang disembah ribuan tahun oleh orang Majusi pun padam seketika. Dia terlahir ke dunia tanpa tangisan, lazimnya bayi biasa, sembari bersujud dan menengadahkan jari telunjuknya.
Kelahirannya menjadi rahmat dan anugerah. Kakeknya, Abdul Muthallib, menyambut begitu suka cita, kelahiran cucu tercinta, dari putra tercinta yang tiga bulan sebelumnya dipanggil Allah SWT. Begitu suka citanya, lelaki tua itu menggendong cucu tercintanya diajak thawaf mengelilingi Ka’bah. Kaum Quraisy dan lainnya berdatangan ke sana untuk mengucapkan selamat atas kelahirannya.
Terlahir sebagai anak yatim, keluarga miskin, dia disusui dan diasuh oleh Halimatus Sa’diyyah, yang semula datang ke Makkah untuk menjual air susunya. Tetapi, Allah gerakkan hatinya untuk mencintai dan menyayanginya, hingga tergerak untuk menyusui dan mengasuhnya. Selam 4 tahun dia diasuh di tengah Bani Sa’ad. Di usianya 2 tahun, dadanya dibelah oleh Malaikat Jibril, dan dibersihkan dengan air Zamzam. Saat usianya 4 tahun, dia dikembalikan oleh Halimah kepada ibunya, Aminah binti Wahhab.
Namun, hanya dua tahun bersama ibundanya, saat usianya 6 tahun, ibundanya dipanggil menghadap Allah di Abwa, kota antara Makkah dan Madinah. Setelah itu, dia diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthallib. Sekali lagi, hanya dua tahun dalam asuhan kakeknya, saat usianya 8 tahun, kakeknya juga dipanggil menghadap Allah. Setelah itu, dia diasuh pamannya, Abu Thalib. Begitulah, Allah SWT menetapkan takdirnya. Namun, di balik semuanya itu, ada skenario luar biasa untuk menyiapkan dirinya.
Di usia 12 tahun, baginda saw. ikut pamannya ke Bashrah dan Syam untuk berdagang. Di usianya 15 tahun, baginda saw. ikut dalam Perang Fujjar, Perang antara Suku Quraisy dan Hawazin. Di usianya 20 tahun, baginda saw. bersama pamanya ikut dalam Hilf al-Fudhul, di rumah Abdullah bin Jud’an untuk mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi. Saat usianya 25 tahun, baginda saw. menikahi Khadijah binti Khuwailid. Wanita dewasa, janda dua kali, penguasa kaya raya, tetapi ketinggian akhlaknya luar biasa.
Dua puluh lima tahun Baginda Nabi Muhammad SAW membangun keluarga dengan Khadijah. Lima belas tahun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, dan sepuluh tahun setelahnya. Sejak lahir, belia hingga dewasa, Allah menjaganya. Dikenal sejak sebelum menjadi Nabi sebagai al-Amin [orang yang terpercaya]. Di usianya 35 tahun, baginda saw. dipercaya memimpin peletakan Hajar Aswad, dan tempat bagi kaumnya untuk menitipkan harta mereka. Di saat usianya 38 tahun, baginda saw. mulai meninggalkan bisnisnya, dan melakukan tahannuts di Gua Hira’.
Kurang lebih selama dua tahun, baginda saw. melakukan tahannuts, hingga Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril ‘alaihissalam. Khadijah, isteri tercintanya, begitu setia mendampingi suaminya, bolak-balik dari rumahnya ke Gura Hira’ saat usianya sudah tak muda, lebih dari 50 tahun. Ketika Jibril mendatanginya, dan wahyu pertama turun, tubuhnya menggigil, seraya berkata kepada isteri tercitanya, “Zammiluni, zammiluni, zammiluni [selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku].” Dengan penuh cinta, wanita dewasa itu pun menyelimuti dan memeluknya.
Itulah moment pertama, Allah turunkan risalah dan nubuwwah kepadanya. Menandai era baru, kenabian dan kerasulannya. Menandai kehadirannya menjadi Nabi dan Rasul yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Menandai moment lahirnya umat terbaik, umat Islam, sekaligus negara yang kelak akan menjadi pilar penyebaran Islam ke seluruh dunia. Islam yang mengubah wajah dunia, itulah Islam rahmatan lil alamin.
Membicarakan sosok manusia sempurna tidak akan pernah bisa mendekati kesempurnaannya. Karena tak sanggup lisan menggambarkannya, pun pula pena dan tinta tak kan pernah mampu melukiskannya. Dari namanya, Muhammad, kita tahu, bahwa dia bukan hanya memiliki satu atau dua kebaikan yang layak dipuji, tetapi kebaikannya itu tak terbatas.
Maka, tinta dan pena pun tak kuasa melukiskan manusia sempurna yang paling kita cintai, karena baginda saw. bukan sekedar pemimpin politik yang mempunyai ambisi untuk rakyatnya, menyampaikan gagasan kepada para pengikutnya untuk mendirikan sebuah negara di salah satu penjuru dunia. Tidak sekedar itu, tetapi baginda saw. adalah seorang Rasul, yang diutus oleh Allah, untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.
Karena itu, tak kuasa tinta dan lisan mengungkap kesempurnaannya, karena baginda saw. tak sekedar kepala negara yang mempunyai tentara, perbendaharaan, dan sebagainya. Tetapi, baginda saw. adalah wujud kasih sayang Allah yang dianugerahkan kepada alam semesta, dan nikmat yang dihamparkan untuknya. Iya, itulah sosok manusia sempurna, Muhammad saw. Manusia maksum, yang dilapangkan dadanya, diangkat nama dan kemuliaannya.
Dialah sosok Nabi terakhir, yang kepadanya Jibril dan wahyu turun, imam para Nabi dan Rasul. Dimuliakan oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Dia dimikrajkan hingga ke Sidratil Muntaha, pemilik syafaat kubra, kedudukan yang agung dan mulia, pemilik telaga dan bendera. Itulah mengapa, betapapun hebatnya lisan dan tulisan mengungkap sosoknya tak kan sanggup menjangkaunya.
Tanda-tanda kesempurnaan itu tampak sejak saat kelahirannya. Dilahirkan di Makkah, Senin, 12 Rabiul Awwal tahun gajah, bertepatan 20 April 571 M. Sejak di dalam kandungan, usia 6 bulan, ayahnya wafat. Saat kelahirannya, sebagaimana dituturkan oleh al-Baihaqi, ibunya bermimpi keluar cahaya dari tempat kelahirannya, memancar ke Syam. Api yang disembah ribuan tahun oleh orang Majusi pun padam seketika. Dia terlahir ke dunia tanpa tangisan, lazimnya bayi biasa, sembari bersujud dan menengadahkan jari telunjuknya.
Kelahirannya menjadi rahmat dan anugerah. Kakeknya, Abdul Muthallib, menyambut begitu suka cita, kelahiran cucu tercinta, dari putra tercinta yang tiga bulan sebelumnya dipanggil Allah SWT. Begitu suka citanya, lelaki tua itu menggendong cucu tercintanya diajak thawaf mengelilingi Ka’bah. Kaum Quraisy dan lainnya berdatangan ke sana untuk mengucapkan selamat atas kelahirannya.
Terlahir sebagai anak yatim, keluarga miskin, dia disusui dan diasuh oleh Halimatus Sa’diyyah, yang semula datang ke Makkah untuk menjual air susunya. Tetapi, Allah gerakkan hatinya untuk mencintai dan menyayanginya, hingga tergerak untuk menyusui dan mengasuhnya. Selam 4 tahun dia diasuh di tengah Bani Sa’ad. Di usianya 2 tahun, dadanya dibelah oleh Malaikat Jibril, dan dibersihkan dengan air Zamzam. Saat usianya 4 tahun, dia dikembalikan oleh Halimah kepada ibunya, Aminah binti Wahhab.
Namun, hanya dua tahun bersama ibundanya, saat usianya 6 tahun, ibundanya dipanggil menghadap Allah di Abwa, kota antara Makkah dan Madinah. Setelah itu, dia diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthallib. Sekali lagi, hanya dua tahun dalam asuhan kakeknya, saat usianya 8 tahun, kakeknya juga dipanggil menghadap Allah. Setelah itu, dia diasuh pamannya, Abu Thalib. Begitulah, Allah SWT menetapkan takdirnya. Namun, di balik semuanya itu, ada skenario luar biasa untuk menyiapkan dirinya.
Di usia 12 tahun, baginda saw. ikut pamannya ke Bashrah dan Syam untuk berdagang. Di usianya 15 tahun, baginda saw. ikut dalam Perang Fujjar, Perang antara Suku Quraisy dan Hawazin. Di usianya 20 tahun, baginda saw. bersama pamanya ikut dalam Hilf al-Fudhul, di rumah Abdullah bin Jud’an untuk mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi. Saat usianya 25 tahun, baginda saw. menikahi Khadijah binti Khuwailid. Wanita dewasa, janda dua kali, penguasa kaya raya, tetapi ketinggian akhlaknya luar biasa.
Dua puluh lima tahun Baginda Nabi Muhammad SAW membangun keluarga dengan Khadijah. Lima belas tahun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, dan sepuluh tahun setelahnya. Sejak lahir, belia hingga dewasa, Allah menjaganya. Dikenal sejak sebelum menjadi Nabi sebagai al-Amin [orang yang terpercaya]. Di usianya 35 tahun, baginda saw. dipercaya memimpin peletakan Hajar Aswad, dan tempat bagi kaumnya untuk menitipkan harta mereka. Di saat usianya 38 tahun, baginda saw. mulai meninggalkan bisnisnya, dan melakukan tahannuts di Gua Hira’.
Kurang lebih selama dua tahun, baginda saw. melakukan tahannuts, hingga Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril ‘alaihissalam. Khadijah, isteri tercintanya, begitu setia mendampingi suaminya, bolak-balik dari rumahnya ke Gura Hira’ saat usianya sudah tak muda, lebih dari 50 tahun. Ketika Jibril mendatanginya, dan wahyu pertama turun, tubuhnya menggigil, seraya berkata kepada isteri tercitanya, “Zammiluni, zammiluni, zammiluni [selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku].” Dengan penuh cinta, wanita dewasa itu pun menyelimuti dan memeluknya.
Itulah moment pertama, Allah turunkan risalah dan nubuwwah kepadanya. Menandai era baru, kenabian dan kerasulannya. Menandai kehadirannya menjadi Nabi dan Rasul yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Menandai moment lahirnya umat terbaik, umat Islam, sekaligus negara yang kelak akan menjadi pilar penyebaran Islam ke seluruh dunia. Islam yang mengubah wajah dunia, itulah Islam rahmatan lil alamin.