Tampilkan postingan dengan label TSAQOFAH ISLAMIYAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TSAQOFAH ISLAMIYAH. Tampilkan semua postingan

Senin, 11 November 2019

MAULID NABI MUHAMMAD SAW. MOMENTUM DATANGNYA ISLAM, LAHIRNYA UMAT DAN NEGARA

By: KH. Hafidz Abdurrahman, MA
Membicarakan sosok manusia sempurna tidak akan pernah bisa mendekati kesempurnaannya. Karena tak sanggup lisan menggambarkannya, pun pula pena dan tinta tak kan pernah mampu melukiskannya. Dari namanya, Muhammad, kita tahu, bahwa dia bukan hanya memiliki satu atau dua kebaikan yang layak dipuji, tetapi kebaikannya itu tak terbatas.

Maka, tinta dan pena pun tak kuasa melukiskan manusia sempurna yang paling kita cintai, karena baginda saw. bukan sekedar pemimpin politik yang mempunyai ambisi untuk rakyatnya, menyampaikan gagasan kepada para pengikutnya untuk mendirikan sebuah negara di salah satu penjuru dunia. Tidak sekedar itu, tetapi baginda saw. adalah seorang Rasul, yang diutus oleh Allah, untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Karena itu, tak kuasa tinta dan lisan mengungkap kesempurnaannya, karena baginda saw. tak sekedar kepala negara yang mempunyai tentara, perbendaharaan, dan sebagainya. Tetapi, baginda saw. adalah wujud kasih sayang Allah yang dianugerahkan kepada alam semesta, dan nikmat yang dihamparkan untuknya. Iya, itulah sosok manusia sempurna, Muhammad saw. Manusia maksum, yang dilapangkan dadanya, diangkat nama dan kemuliaannya.

Dialah sosok Nabi terakhir, yang kepadanya Jibril dan wahyu turun, imam para Nabi dan Rasul. Dimuliakan oleh seluruh penduduk langit dan bumi. Dia dimikrajkan hingga ke Sidratil Muntaha, pemilik syafaat kubra, kedudukan yang agung dan mulia, pemilik telaga dan bendera. Itulah mengapa, betapapun hebatnya lisan dan tulisan mengungkap sosoknya tak kan sanggup menjangkaunya.

Tanda-tanda kesempurnaan itu tampak sejak saat kelahirannya. Dilahirkan di Makkah, Senin, 12 Rabiul Awwal tahun gajah, bertepatan 20 April 571 M. Sejak di dalam kandungan, usia 6 bulan, ayahnya wafat. Saat kelahirannya, sebagaimana dituturkan oleh al-Baihaqi, ibunya bermimpi keluar cahaya dari tempat kelahirannya, memancar ke Syam. Api yang disembah ribuan tahun oleh orang Majusi pun padam seketika. Dia terlahir ke dunia tanpa tangisan, lazimnya bayi biasa, sembari bersujud dan menengadahkan jari telunjuknya.

Kelahirannya menjadi rahmat dan anugerah. Kakeknya, Abdul Muthallib, menyambut begitu suka cita, kelahiran cucu tercinta, dari putra tercinta yang tiga bulan sebelumnya dipanggil Allah SWT. Begitu suka citanya, lelaki tua itu menggendong cucu tercintanya diajak thawaf mengelilingi Ka’bah. Kaum Quraisy dan lainnya berdatangan ke sana untuk mengucapkan selamat atas kelahirannya.

Terlahir sebagai anak yatim, keluarga miskin, dia disusui dan diasuh oleh Halimatus Sa’diyyah, yang semula datang ke Makkah untuk menjual air susunya. Tetapi, Allah gerakkan hatinya untuk mencintai dan menyayanginya, hingga tergerak untuk menyusui dan mengasuhnya. Selam 4 tahun dia diasuh di tengah Bani Sa’ad. Di usianya 2 tahun, dadanya dibelah oleh Malaikat Jibril, dan dibersihkan dengan air Zamzam. Saat usianya 4 tahun, dia dikembalikan oleh Halimah kepada ibunya, Aminah binti Wahhab.

Namun, hanya dua tahun bersama ibundanya, saat usianya 6 tahun, ibundanya dipanggil menghadap Allah di Abwa, kota antara Makkah dan Madinah. Setelah itu, dia diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthallib. Sekali lagi, hanya dua tahun dalam asuhan kakeknya, saat usianya 8 tahun, kakeknya juga dipanggil menghadap Allah. Setelah itu, dia diasuh pamannya, Abu Thalib. Begitulah, Allah SWT menetapkan takdirnya. Namun, di balik semuanya itu, ada skenario luar biasa untuk menyiapkan dirinya.

Di usia 12 tahun, baginda saw. ikut pamannya ke Bashrah dan Syam untuk berdagang. Di usianya 15 tahun, baginda saw. ikut dalam Perang Fujjar, Perang antara Suku Quraisy dan Hawazin. Di usianya 20 tahun, baginda saw. bersama pamanya ikut dalam Hilf al-Fudhul, di rumah Abdullah bin Jud’an untuk mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi. Saat usianya 25 tahun, baginda saw. menikahi Khadijah binti Khuwailid. Wanita dewasa, janda dua kali, penguasa kaya raya, tetapi ketinggian akhlaknya luar biasa.

Dua puluh lima tahun Baginda Nabi Muhammad SAW membangun keluarga dengan Khadijah. Lima belas tahun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, dan sepuluh tahun setelahnya. Sejak lahir, belia hingga dewasa, Allah menjaganya. Dikenal sejak sebelum menjadi Nabi sebagai al-Amin [orang yang terpercaya]. Di usianya 35 tahun, baginda saw. dipercaya memimpin peletakan Hajar Aswad, dan tempat bagi kaumnya untuk menitipkan harta mereka. Di saat usianya 38 tahun, baginda saw. mulai meninggalkan bisnisnya, dan melakukan tahannuts di Gua Hira’.

Kurang lebih selama dua tahun, baginda saw. melakukan tahannuts, hingga Allah SWT menurunkan wahyu melalui Jibril ‘alaihissalam. Khadijah, isteri tercintanya, begitu setia mendampingi suaminya, bolak-balik dari rumahnya ke Gura Hira’ saat usianya sudah tak muda, lebih dari 50 tahun. Ketika Jibril mendatanginya, dan wahyu pertama turun, tubuhnya menggigil, seraya berkata kepada isteri tercitanya, “Zammiluni, zammiluni, zammiluni [selimutilah aku, selimutilah aku, selimutilah aku].” Dengan penuh cinta, wanita dewasa itu pun menyelimuti dan memeluknya.

Itulah moment pertama, Allah turunkan risalah dan nubuwwah kepadanya. Menandai era baru, kenabian dan kerasulannya. Menandai kehadirannya menjadi Nabi dan Rasul yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Menandai moment lahirnya umat terbaik, umat Islam, sekaligus negara yang kelak akan menjadi pilar penyebaran Islam ke seluruh dunia. Islam yang mengubah wajah dunia, itulah Islam rahmatan lil alamin.

Sabtu, 19 Oktober 2019

HADLARAH & MADANIYAH: CARA PRAKTIS MEMBANTU MENENTUKAN HALAL-HARAM SUATU BENDA

Hasil gambar untuk hadharah dan madaniyah


Facebook itu kan buatan orang kafir, halal atau haram ya kalau kita main facebook? Jangankan facebook deh, laptop sama smartphone saja juga buatan orang kafir kan? Boleh tidak dipakai? Disisi lain sampai ada yang bisnisnya berkaitan dengan teknologi, dan ada pula yang sampai-sampai dakwahnya berkaitan pula dengan teknologi karya orang kafir begitu. Jangan-jangan nanti jadi bid'ah lagi?...

Inilah keadaan orang-orang sekarang. Inilah salah satu motivasi besar kita, kenapa harus terjun ke aktivitas dakwah guna mencerdaskan orang-orang. Karena banyak dari kita sekarang, tidak bisa menentukan sesuatu itu halal atau haram. Khususnya, dalam menghadapi persoalan modern zaman sekarang.

Nah, berikut ini, saya akan coba paparkan konsep tentang Hadharah dan Madaniyah. Yang mana dengan konsep ini, insya Allah bisa memudahkan Anda untuk menentukan mana yang boleh dipakai, dan mana yang nggak boleh.

Defenisi Hadharah dan Madaniyah

Biar enak menjelaskan bagaimana cara menggunakan konsep hadharah dan madaniyah untuk menentukan hukum suatu benda, kita berangkat dari defenisi dulu, apa itu hadharah, dan apa itu madaniyah.

Hadharah

Hadharah itu bisa juga artinya: pemahaman. Yang, pemahaman itu ada kaitannya dengan agama-agama tertentu. Juga, ada kaitannya dengan ideologi-ideologi tertentu. Adapun maksud pemahaman disitu adalah, cara pandang tentang kehidupan. Begitu secara istilah. Kalau secara kata, hadharah itu artinya: peradaban.

Contoh. Kan ada agama Islam, ada agama Kristen, dan agama lain-lain. Nah, masing-masing agama, pasti memandang sesuatu itu berbeda-beda. Misal, kalau di dalam Islam babi itu haram, sedangkan di agama lain babi itu halal. Nah, pamahaman terhadap babi, itulah namanya hadharah.


Contoh lain. Terkait hutang piutang. Dalam agama Islam, kalau kita berhutang 10 ribu dari orang, berarti besok harus bayarnya 10 ribu juga ke orang itu. Tidak boleh si pemberi hutang minta dua kali lipat, karena kita kelamaan membayar. Misal, gara-gara kita kelamaan membayar, dikenakan bunga jadi kita dipaksa harus bayar 12 ribu. Nah, itu tidak boleh dalam Islam! Itu namanya riba! Haram! Tapi, dalam kapitalisme, itu boleh. Malah, wajib. Nah, persepsi yang berbeda terhadap hutang-piutang, itulah namanya hadharah.

Jadi:
Sekumpulan pemahaman dalam Islam, itu namanya Hadharah Islam.
Sekumpulan pemahaman dalam Kristen, itu namanya Hadharah Kristen.
Sekumpulan pemahaman dalam Budha, itu namanya Hadharah Budha.
Sekumpulan pemahaman dalam Sekulerisme, itu namanya Hadharah Sekuler.
Sekumpulan pemahaman dalam Atheisme, itu namanya Hadharah Atheis.
Sekumpulan pemahaman dalam Pluralisme, itu namanya Hadharah Pluralisme.
Sekumpulan pemahaman dalam Kapitalisme, itu namanya Hadharah Kapitalisme.
Dan lain-lain, masih banyak lagi.
Tentunya, kita hanya boleh mengambil hadharah Islam. Karena hadharah Islam itu datangnya dari Allah, dan RasulNya. Sedangkan hadharah lain, itu mutlak buatan manusia yang dipengaruhi oleh nafsu dan juga bersumber dari akal yang sifatnya nisbi. Maka, tentu lebih baik mengambil ide yang diberi oleh Yang Menciptakan semesta Yang Paling Tahu yang terbaik bagi ciptaan-Nya.

Madaniyah

Kalau madaniyah itu, artinya benda. Benda, yang bisa kita indera. Bisa kita lihat, kita pegang, kita hirup, kita denger, dan kita jilat. Bentuk fisiknya ada. Contohnya? Yah apa saja yang ada di sekeliling Anda. Handphone, itu madaniyah. Baju, itu madaniyah. Buku, itu madaniyah. Yah, pokoknya, benda fisik yang bisa diindera, itu namanya madaniyah.

Naah, tapi, madaniyah itu terbagi lagi menjadi 2. Yaitu, ada madaniyah amm (umum), dan ada madaniyah khas (khusus). Bedanya?
Kalau madaniyah amm, itu yah benda normal yang biasa aja. Seperti yang tadi dicontohkan, seperti ayam goreng, baju, laptop, dan sebagainya.
Sedangkan madaniyah khas, itu terdapat hadharah non-Islam. Contoh: kalung salib, patung Budha, topi kerucut tahun baru dan ulang tahun, dan sebagainya. Itulah benda-benda yang justifikasinya haram.

Kalau sudah paham ini, insya Allah, jadinya kita bisa membedakan mana benda yang haram dan halal. Tidak seperti halnya orang Indonesia dulu ketika dijajah Belanda. Saat itu, karena sebagian "orang berada" diberikan pakaian rapi, termasuk dasi, kemudian dasi itu dikatakan sebagai benda yang haram. Padahal, tidak. Karena dasi itu termasuk madaniyah amm. Bukan madaniyah khas. Dan masih banyak lagi kasus serupa lainnya seperti halnya kasus hukum celana jeans, batik, jas, dan lain sebagainya.

Dengan begini, terjawablah pertanyaan di awal tadi. Sekiranya suatu benda itu tidak mengandung pandangan hidup tertentu yang bukan Islam, halal. Boleh-boleh saja dipakai. Apalagi, kalau nggak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Assunnah, yah sah-sah saja.

Kisah Adi bin Hatim Mencampakkan Kalung Salibnya
Mari sejenak belajar dari Adi bin Hatim. Nah, Adi bin Hatim ini, merupakan salah seorang sahabat Rasulullah yang sebelum masuk agama Islam, agamanya adalah Nasrani. Suatu ketika Rasulullah ngelihat si Adi bin Hatim masih memakai kalung salib di lehernya. Lalu Rasulullah mendatanginya, kemudian membacakan surat At-Taubah ayat 31:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan...." [TQS. At-Taubah (9): 31]

Tapi Adi bin Hatim malah bilang, "Ih, aku nggak pernah kok nyembah rahib-rahib maupun pendeta-pendeta itu.." Kemudian Rasulullah menjawab, "Apakah rahibmu menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan kamu menghalalkannya? Dan apakah rahibmu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, kemudian kamu mengharamkannya?"

Mendadak Adi bin Hatim sadar, dan ngaku salah, kemudian bertaubat. Lalu ia campakkan kalung salib itu.

Say "No" to Madaniyah Khas yang Bukan Islam

Kisah tersebut selaras dengan kaidah syara’ yang berbunyi, Al-ashlu fil asy-yaa’ al-ibaahah, maalam yarid Daliilut-Tah-rim. Artinya, hukum asal suatu benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Kalau soal perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan madaniyah amm, itu hukumnya tergantung perbuatannya. Lihat dulu fakta kasusnya. Kasus apapun. Karena memang hukum asal perbuatan manusia itu terikat dengan hukum syara' (Al-ashlu fil af'al at-taqoyyadu bi al-hukmi asy syari'iy).

Dan selaras pula dengan hadits yang Rasulullah sampaikan, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Dawud). [@aiza]
Wallahu 'Alam...

Sabtu, 12 Oktober 2019

MENDAMBAKAN ULAMA PEWARIS NABI

Ulama adalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi tugas para Nabi dan Rasul dalam menyampaikan dakwah dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Di hadapan penguasa, Ulama adalah barisan terdepan yang mengontrol, menjaga, memberikan kritik dan nasehat agar penguasa senantiasa menjalankan syariah-Nya. Ulama juga tempat bertanya penguasa dalam ragam kebijakan menyangkut urusan pemerintahan, politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dll. Di tengah-tengah umat, Ulama bagaikan lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur. Ulama adalah lambang harapan & cita-cita umat. Allah menjamin Islam akan tetap abadi hingga akhir zaman, tapi Allah tidak menjamin Islam akan tegak di kampung, daerah, dan negeri kita tanpa kita perjuangkan eksistensinya bersama-sama dengan para Ulama. 
Hasil gambar untuk Ulama pewaris nabi
Karena itu, peran ulama pada aturan yang akan diterapkan penguasa adalah sebuah keniscayaan. Politik adalah pengaturan rakyat yang tidak akan pernah terpisah dengan misi dan visi sosok ulama. Rusaknya moral para birokrat, bergesernya haluan politik pada sekedar hanya untuk meraih kekuasaan, “lugu”-nya masyarakat menilai kebijakan politik dan intervensi asing terhadap negara, boleh jadi diantaranya karena peran ulama dipinggirkan. Tak jarang diantara masyarakat yang menilai bahwa politik itu “kotor” dan agama itu “suci”, maka agama harus dijauhkan dari aktivitas politik. Penilaian seperti itu tidak sepenuhnya salah, artinya tergantung dari mabda (ideologi) politik tersebut. Kalau mabdanya adalah Kapitalisme atau Sosialisme, maka agama harus dijauhkan dari politik. Kecuali peran agama adalah “melawan” mabda kufur tersebut. Tapi kalau mabdanya adalah Islam itu sendiri, maka politik tak terpisahkan dalam kehidupan beragama. Kebutuhan penguasa saat ini pada ulama hanya sebatas rutinitas ritual ibadah atau sekedar “seremonial” belaka. Bahkan ulama diminta mengikuti arahan dan tekanan penguasa dalam “menghalalkan” setiap kebijakan yang akan diterapkan penguasa pada rakyat, dan bukan sebaliknya . Ada jarak yang lebar antara penguasa dan Ulama dalam kontrol politik. Inilah buah daripada sekulerisme (pemisahan agama dengan kehidupan ).

Peran ulama dalam aktivitas politik menurut syariat (sistem) Islam setidaknya dalam beberapa hal berikut :

1. Menjaga kejernihan pemikiran masyarakat.
Bencana paling mengenaskan abad ini bagi umat Islam adalah kemerosotan berpikir. Semua ini berawal dari dijauhkannya umat dari permata mereka al-Quran dan as-Sunnah, sebagai standar berpikir umat. Kelemahan ini menjadikan masyarakat bertindak pragmatis. Ulama adalah sosok yang paling strategis untuk meningkatkan taraf berpikir umat. Caranya adalah dengan senantiasa mengaitkan tiap persoalan yang terjadi dengan nilai dan standarisasi Islam. Saat ditengah-tengah umat berkembang paham dan pemikiran kufur, ulama harus mengkaji faktanya, lalu menjelaskan secara jernih kerusakan paham dan pemikiran tersebut. Apa yang dilakukan MUI dulu dengan 11 (sebelas) fatwanya pada Munas ke-IV, yang membahas tentang haramnya sekulerisme,pluralisme, liberalisme (sepilis) kiranya tepat untuk dijadikan contoh upaya ulama menjaga kejernihan pemikiran masyarakat. Disamping itu, ulama senantiasa menjaga umat untuk tidak terkotak-kotak dalam fitnah ashobiyah (golonganisasi) yang melemahkan ukhuwah Islamiyah.

2. Membangun kesadaran politik masyarakat.
Setiap peristiwa di masyarakat tidak selalu murni alami tanpa rekayasa. Sebagian peristiwa bahkan by design oleh kelompok tertentu untuk tujuan politik tertentu. Situasi politik lokal, regional, dan internasional terjadi hakikatnya mengikuti mainstream dari sebuah kebijakan poltik. Umat tidak boleh terfokus bahkan terpengaruh oleh sebuah informasi dari berbagai media baik cetak maupun elektronik, sebelum membandingkannya dengan yang lain yang lebih valid dan Islami. Tetap kritis dan jangan mudah terprovokasi. Umat harus pandai membaca situasi, mengamati dan memahami semua kejadian tersebut dari sudut pandang Islam semata. Umat juga harus menyadari bahwa kemuliaan dan keagungan Islam membuat musuh-musuh Islam merasa iri dan dengki. Tiap musuh-musuh Islam berupaya menguasai berbagai media dan mengaburkan bahkan memelintir setiap informasi dan berita yang dinilai cenderung membawa nama Islam. Inilah yang disebut dengan kesadaran poltik Islam.

3. Melakukan perang pemikiran (ash-shira’ul fikri).
Kebenaran adalah lawan kebatilan. Saat ini, perang pemikiran yang terjadi bukan hanya antara kaum Muslim dan orientalis barat yang memang kafir. Kita juga berhadapan dengan putra-putri kaum Muslim yang pola pikirnya bahkan lebih “Barat” daripada orang-orang Barat sendiri. Ulama harus mempelajari kesesatan musuh-musuh Islam, termasuk aliran-aliran sesat seperti ahmadiyah dan kemunafikan kaum liberal. Sebab mereka juga melakukan hal yang sama untuk menistakan keagungan syariat Islam. Sekali lagi, jangan sampai paham dan pemikiran mereka meracuni umat Islam. Salah satu penyebab runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah yang menguasai sepertiga dunia. Dan telah “menyinari” dunia selama 13 abad lamanya, adalah karena umat telah terpengaruh paham dan pemikiran kufur dan meninggalkan aktivitas dakwah dan jihad. Umat waktu itu baru menyadari setelah ‘benteng Islam” diruntuhkan, berbagai bencana sosial yang direncanakan sistematis menimpa umat Islam. Persis seperti “hidangan di meja makan” yang diserbu dari segala penjuru.

4. Melakukan kontrol terhadap penguasa (muhasabah lil-hukkam).
Inilah aktifitas pokok ulama. Termasuk berusaha membongkar konspirasi asing yang berusaha merongrong kedaulatan Negara. Juga konspirasi penguasa yang menistakan rakyat dengan berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat itu sendiri. Dihadapan penguasalah reputasi sosok Ulama dipertaruhkan. Kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar harus lebih ditekankan pada penguasa, karena ditangan penguasalah kemaslahatan rakyat “dipertaruhkan.”

Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaklah kalian menyuruh kebaikan & mencegah kemungkaran. Hendaklah kalian melarang penguasa berbuat dzalim dengan menyatakan kebenaran dihadapannya. Janganlah kalian menutup-nutup kebenaran itu…..” (HR Abu Dawud & at-Tirmidzi)

“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa dzalim.” (HR at-Tirmidzi & an-Nasa’i)

5. Memberikan solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat.
Islam adalah serangkaian aturan hidup yang berfungsi sebagai solusi atas berbagai persoalan. Solusi-solusi tersebut terangkai dalam suatu sistem hukum. Ulama adalah yang paling kredibel dalam menjelaskan semua itu. Persoalan kebobrokan moral, lemahnya kualitas ubudiyah baik individu maupun masyarakat, pengangguran yang kian bertambah, kemiskinan yang tersistemisasi, kesehatan dan pendidikan yang terus di komersialisasi, korupsi yang makin meningkat, melonjaknya harga pangan dll perlu solusi Islam yang harus dijelaskan oleh ulama secara komprehensif. Lebih dari itu, bencana alam yang menimpa negara baik didarat dan laut harus mengingatkan kita akan segala kemaksiatan global yang dilakukan bangsa ini. Masyarakat dan penguasa negeri ini harus benar-benar disadarkan oleh para ulama bahwa semua itu merupakan momen agar mereka segera bertobat dan kembali pada aturan Allah, kembali pada syariah-Nya.

6. Menggerakkan masyarakat untuk berjihad & melakukan perubahan yang lebih baik.
Jihad adalah tulang punggung kehidupan umat. Jihad harus terus berlangsung hingga hari kiamat, baik ada pemimpin Islam (Khalifah) maupun tidak. Di negeri-negeri yang nyata-nyata terjadi benturan fisik antara kaum Muslim dan pihak kafir seperti di Palestina, Suriah, Myanmar, Xinjiang dll para Ulama harus mengobarkan semangat jihad fi sabilillah. Fisik harus dilawan fisik, bukan sekedar kecaman dengan mulut, Apalagi dengan diam seperti yang dilakukan Negara-negara Arab sekuler akhir-akhir ini. Dalam hal ini, para Ulama tak usah terpengaruh oleh statement hingga aturan rezim penguasa sekuler yang cenderung abai pada kedzaliman yang menimpa umat Islam.
Di negeri-negeri Islam yang tidak terjadi kontak fisik (senjata) seperti di Indonesia. Yang mesti dilakukan ulama adalah memimpin masyarakat untuk melakukan perubahan dengan dakwah bil hikmah, maw’izhatul hasanah, billati hiya ahsan. Ulama bersama-sama dengan umat wajib berjuang untuk terus melakukan perubahan pemikiran dan perasaan masyarakat secara keseluruhan. Berupaya secara optimal penuh kesabaran agar syariah Islam diterapkan secara sistemik dalam negara. Terhadap non-Muslim perlu diberikan kesadaran bahwa keagungan syariat Islam pada ranah publik bersifat universal untuk kemaslahatan mereka juga. Bukan malah dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan negara. Semua itu dilakukan dengan terbuka & sedikitpun tanpa kekerasan. Semua hal tersebut seperti contoh dari Rasulullah SAW seperti yang terangkum dalam metode dakwah beliau.

Untaian hikmah seputar topik.

 Hasil gambar untuk Ulama pewaris nabi
 Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu. Allah memperjalankannya diatas salah satu jalan surga. Sesungguhya para malaikat meletakkan sayap mereka karena ridla pada para penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit & di bumi hingga ikan yang di dasar lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang aabid (ahli ibadah) sperti keutamaan bulan purnama atas bintang-bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar & dirham, melainkan ilmu. Karena itu siapa yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud, at- Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi & Ibn Hibban)

“Kebinasaan bagi umatku (datang dari ulama) su’, mereka menjadikan ilmu sebagai barabg dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR al-Hakim)

“Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul (mesra dalam hak & batil)dengan penguasa & tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa & asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Karena itu, jauhi mereka”. (HR al-Hakim)

“Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama & sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama.” (HR ad-Darimi)

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menuturkan:
“Dulu diantara tradisi para ulama adalah mengoreksi & mengawal penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat & pernyataan mereka membekas di hati. Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun ulama hanya diam. Andai mereka berbicara, pernyataanya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan penguasa & kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat digenggam cinta harta & jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia, niscaya dia tidak mampu menguasai “kerikilnya”, bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa & para pembesar.”

Dari penjelasan diatas bisa kita ambil sikap, bahwa umat Islam wajib mengikuti Ulama. Yaitu Ulama haq yang memang lurus dijalan Allah, walau panah-panah penguasa musuh Allah mengarah pada sang Ulama. Bukan Ulama su' (penipu umat) dan penjilat penguasa kufur. yang harus kita ikuti. Sebab mereka akan merusak jalan kehambaan kita dihadapan Allah SWT. [irawan]

Minggu, 06 Oktober 2019

BENARKAH MENGKRITIK PENGUASA DI MUKA UMUM HUKUMNYA HARAM DAN TERMASUK GHIBAH ?

Gambar terkait
By: KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi

Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tidak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. Dalilnya ada dua yaitu Pertama, dalil mutlak tentang mengenai kritik terhadap penguasa. Kedua, adanya dalil-dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan dalam Islam.

Dalil pertama, adalah dalil-dalil mutlak mengenai amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Misalnya sabda Nabi Saw, “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah mengkritik secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai dengan kaidah ushuliyah: al-ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al-taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm.60)

Bolehnya mengkritik secara terbuka juga diperkuat dengan praktik para sahabat Nabi Saw, yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

Diriwayatkan dari Ikrimah ra. khalifah Ali bin Thalib ra. telah membakar kaum zindiq, berita ini sampai kepada Ibnu Abbas ra. maka berkatalah beliau, “Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi Saw telah bersabda, “Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api).” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi Saw, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari no. 6524)

Hadits ini jelas menunjukkan Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Thalib secara terbuka di muka umum. (Ziyad Ghazzal, Masyu’ Qanun Wasa’il Al-I’lam Ad-Daulah Al-Islamiyah, hlm.25).

Adapun dalil kedua, adalah dalil bahwa mengkritik penguasa yang zalim tidak termasuk ghibah yang diharamkan Islam. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin telah menjelaskan banyak hadits Nabi Saw yang membolehkan ghibah-ghibah tertentu sebagai perkecualian dari asal hukum ghibah (haram).

Misalnya, hadits dari A’isyah ra. Bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi Saw, kemudian Nabi Saw. bersabda, “Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan Nabi SAW, telah melakukan ghibah, yaitu menyebut nama seseorang di hadapan umum lantaran kejahatan orang itu.

Berdasarkan dalil-dalil semacam ini, para ulama telah menjelaskan bahwa ghibah dihadapan umum kepada orang yang jahat, termasuk juga penguasa yang zalim, hukumnya boleh. Imam Ibnu Dunya meriwayatkan pendapat Ibrahim An-Nakha’i (seorang tabi’in) yang berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dianggap ghibah oleh mereka (para sahabat), yaitu; imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.” Hasan Al-Bashri (seorang tab’in) juga berkata, “Ada tiga orang yang boleh ghibah padanya, yaitu; orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim.” (Ibnu Abi Dunya, Al-Shumtu wa Adabul Lisan, hlm. 337 & 343).

Memang ada ulama yang mengharamkan mengkritik pemimpin secara terbuka berdasarkan hadits Iyadh bin Ghanam, bahwa Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no.15369).

Namun hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dasar hukum) karena dua alasan: (1) sanadnya terputus (inqitha’), dan (2) ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayyaasy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhasabah Al-Hukkam, hlm. 41-43). Wallahu a'lam.

Selasa, 01 Oktober 2019

JIKA DALIL-DALIL SALING BERTENTANGAN

Pembahasan seputar dalil saat berbicara masalah amaliyah dalam agama, menjadi bahan yang sangat seru untuk dikaji. Saking serunya, banyak yang lupa bahwa setiap perbedaan yang keluar dari ijtihad para Ulama salah satunya adalah karena dalil yang dipakai oleh masing-masing ulama seolah salingbertentangan antara satu dengan lainnya. Lucunya lagi, pelajar agama zaman sekarang melupakan sisi ini, sehingga hanya karena dalil yang dianut berbeda dengan yang lainnya sampai-sampai menganggap dalil lain yang kontra terhadap dalilnya dianggap lemah, salah, atau bahkan palsu, bahkan tak segan sampai kepada tingkatan menjauhi,memusuhi, hingga mengkafirkan. Padahal ulama zaman dahulu sudah membuat formulasi yang detail bagaiamana jika ada dalil-dalil yang kontradiktif. Hal tersebut dibuat supaya kita di zaman ini tidak terlalu banyak berdebat atas apa yang sebenarnya mereka belum kuasai.

Banyak yang berbusa-busa berdebat masalah dalil yang kontradiktif, layaknya perdebatan antara peneliti dan praktisi profesional. Perdebatan antar muslim seputar dalil yang berbeda ini tidak hanya terjadi di kalangan akademisi, tapi sudah masuk juga ke tingkat warung kopi. Ironisnya, begitu ditanya apa itu definisi dalil, masing-masing kemudian sibuk buka handphonenya untuk cari tahu. Berangkat dari fakta lucu tersebut, penulis mencoba menghadirkan buku cilik ini di hadapan para pembaca sekalian. Harapannya, melalui kajian ushul fiqih singkat yang kami rangkum ini, mampu memberikan pencerahan yang memadai terkait dalil, terutama bila terjadi kontradiksi antara satu dalil dengan dalil lain.
Selamat membaca, semoga bermanfaat ...


DOWNLOAD

Jumat, 27 September 2019

SEPUTAR HARTA WARISAN

 Hasil gambar untuk pembagian harta warisan
Pembagian warisan dalam hukum Islam menurut fiqh disebut dengan faraidh, wiratsah, atau al-tirkah. Fiqh Kewarisan Islam adalah ketentuan hukum Islam yang mengatur tentang siapa saja ahli waris yang berhak mendapatkan warisan termasuk berapa besar bagian kewarisannya.

Allah Ta’ala menyebutkan di dalam al-Qur’an tentang warisan, yang tertuang pada surat an-Nisaa’ ayat, 7, 11, 12 dan 176.

Pada ayat ke-7 dalam surat an-Nisaa’ Allah Ta’ala menyebutkan tentang hak bagian harta warisan dari orang tua dan karib kerabat bagi laki-laki dan perempuan.

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

Artinya, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisaa : 7)

Ayat tersebut diturunkan karena pada masa jahiliyyah harta warisan hanya diberikan kepada orang-orang yang kuat dan yang ikut berperang. Sedangkan orang-orang lemah seperti wanita dan anak-anak tidak mendapatkan bagian sedikitpun.

Pada ayat ke-11 Allah Ta’ala bercerita tentang bagian yang di dapat dari harta warisan oleh Ushul (kerabat atas si mayit, seperti, ayah, ibu, kakek dst ke atas) dan Furu’ (kerabat bawah si mayit, seperti, anak dan cucu dan seterusnya ke bawah).

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya fauqotsnataini (maksudnya dua keatas), maka bagian mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh 1/2 (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat 1/3. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat 1/6. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di Antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa : 11)

Selanjutnya, Firman Allah Ta’ala pada surat an-Nisaa ayat ke-12, pada ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan tentang bagian harta warisan yang di dapatkan oleh suami istri dan sudara/I seibu.

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Artinya, “Dan bagianmu (suami-suami) adalah 1/2 dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat 1/4 dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh 1/4 harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang 1/3 itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah di bayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikian ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (QS. An-Nisaa : 12)

Pada Firman Allah Ta’ala pada surat an-Nisaa’ ayat ke-176 Allah Ta’ala menyebutkan tentang bagian harta warisan bagi saudara/I kandung dan saudara/saudari seayah.

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِن كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) 1/2 dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’ : 176)

Mengenai informasi dari hadits Rasulullah SAW yang bercerita tentang harta warisan, beliau bersabda:

ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى رجل ذكر )متفق عليه(

Artinya, “Berikanlah bagian-bagian itu (harta warisan) kepada keluarganya yang berhak (mendapatkannya), jika masih ada yang tersisa maka yang utama mendapatkannya adalah lelaki terdekat (kekerabatannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)

Apabila kita gabungkan hadits ini dengan ayat-ayat di atas maka telah sempurnalah hukum-hukum faraidh yang berkaitan dengan bagian-bagian yang di dapat oleh masing-masing keluarga yang berhak mendapatkannya. Yang mana di dalam hadits yang mulia ini menyebutkan siapa yang berhak mendapatkan sisa harta warisan yang telah dibagikan kepada keluarga yang berhak mendapatkan bagian sesuai bagian-bagiannya masing-masing. Yang berhak mendapatkan sisa pembagian harta warisan adalah ‘ashabah terdekat dengan nasab.

Setelah disebutkan hak-hak warisan yang berkaitan dengan keluarga mayit di atas, maka pada dalil berikut ini berkaitan dengan hak-hak warisan bagi orang yang memerdekakan budak yaitu mu’tiq/mu’tiqah. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda-,
إنما الولاء لمن أعتق

Artinya, “sesungguhnya wala’ itu bagi yang memerdekakan budak.” (HR. Bukhari)

Yang dimaksud dengan wala’ pada hadits di atas adalah berkeitan dengan harta warisan yang ditinggalkan oleh mantan seorang budak yang di tetapkan oleh Rasulullah menjadi milik orang yang membebaskannya jika tidak ada ‘ashabah dari keluarganya.

Kemudian Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menyebutkan hak yang akan di dapat oleh karib kerabat mayit yang tidak termasuk kedalam ashabul furud dan ‘ashabah. Ketika seorang mayit tidak memiliki ashabul furud dan ‘ashabah yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisannya.

Allah Ta’ala berfirman,
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ (الأنفال: 75)

Artinya, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah.” (QS. Al-Anfaal : 75)

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الخال وارث من لا وارث له

Artinya, “Paman dari jalur ibu mewarisi orang yang tidak memiliki pewaris.” (HR. al-Baihaqi)
Ringkasannya dapat dilihat pada keterangan berikut ini:

1. Anak Perempuan
Pertama, anak perempuan mendapatkan 1/2. Apabila anak sendiri (QS. 4: 11). Kedua, mendapatkan 2/3 apabila terdapat dua atau lebih. Mereka berbagi rata dari 2/3 tersebut (4:11). Ketiga, mendapatkan sisa / ashabah spabila bersama dengan anak laki-laki (ashabah bil ghair).

2. Anak laki-laki
Laki-laki mendapat sisa dengan sendirinya atau disebut ashabah bi al-Nafs

3. Suami
Pertama, suami mendapat bagian 1/2 apabila ahli waris tidak meninggalkan anak (4:12). kedua, suami mendapatkan 1/4 apabila pewaris meninggalkan anak (4:12)

4. Istri
Pertama. Istri mendapatkan 1/4 apabila ahli waris tidak meninggalkan anak (4:12). Kedua mendapatkan 1/8 apabila ahli waris meninggalkan anak (4:12).

5. Ibu
Pertama, ibu mendapatkan bagian 1/3 apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Kedua mendapatkan 1/6 apabila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih (4:11). Apabila tidak meninggalkan anak namun meninggalkan saudara (4:11). Ketiga, mendapatkan 1/3 sisa (tsulutsul baqi) apabila ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan suami/istri. Pembagiannya adalah dibagi dulu bagian istri, kemudian sisanya dibagi 1/3, kemudian sisanya diberikan kepada ayah.
6. Bapak
Pertama. Bapak mendapatkan 1/3 apabila ahli waris tidak meninggalkan anak. (4:11). Kedua, bapak mendapatkan 1/6 apabila ahli waris meningglkan anak. (4:11). Ketiga, bapak mendapatkan semua sisa apabila tidak ada ahli waris yang mendapatkan sisa, dan masih ada sisa warisan maka diberikan kepada bapak, namun sebelumnya bapak tetap mendapat bagian zawil furud (ahli waris yang telah mendapatkan bagian yang ditentukan).

7. Saudari kandung
Pertama. Saudari kandung mendapatkan bagian waris 1/2 apabila kalalah dan sendiri. Kedua, mendapatkan 2/3 apabila kalalah dan bersama dua orang atau lebih, maka mereka berbagi rata dari 2/3 tersebut. Kedua, mendapatkan sisa warisan. Apabila kalalah dan bersama dengan seorang anak perempuan (ashabah maal ghair) atau dia bersama dengan saudara kandung (ashabah bil ghair).

8. Saudara kandung
Saudara kandung mendapatkan sisa warisan apabila kalalah.

9. Saudari sebapak
Pertama. Saudara sebapak mendapatkan 1/2 warisan apabila kalalah dan tidak ada saudari kandung. Kedua mendapatkan 2/3 apabila kalalah, tidak ada saudari kandung dan saudari sebapak terdiri dari dua orang atau lebih. Mereka berbagi rata dari bagian tersebut. Ketiga, mendapatkan sisa warisan apabila kalalah, dia bersama saudara sebapak, dan tidak ada suadara kandung. Keempat. Tidak mendapatkan warisan apabila ada saudara kandung atau apabila ada dua saudari kandung

10. Saudara/I seibu
Pertama, Saudara/I seibu mendapatkan 1/6 warisan apabila kalalah dan mereka satu orang. Kedua mendapatkan 1/3 apabila kalalah dan mereka terdiri dari dua orang atau lebih.

Dari penejalasan di atas, kami ingin memberikan catatan tentang pengertian kalalah. Kalalah adalah kondisi ketika ahli waris tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki dan ayah telah meninggal terlebih dahulu. Pembahasan kalalah adalah untuk menentukan apakah saudara dapat menjadi ahli waris atau tidak. Wallahu a'lam.
 Hasil gambar untuk bagan pembagian harta warisan
Melihat penjelasan diatas, pembahasan tentang ilmu Faraidh ini masih cukup panjang untuk mendapatkan kategori detail informasi. Masih banyak yang harus dijelaskan dan diperhatikan lebih rinci lagi. Tapi hal tersebut diatas adalah point utama yang harus lebih dulu diperhatikan. InsyaaAllah penjelasan tambahan lainnya akan berlanjut lagi nanti. Semoga bermanfaat.


Kamis, 26 September 2019

SIKAP KRITIS DALAM MENONTON TELEVISI

Gambar terkait


Televisi sepertinya sudah menjadi kebutuhan pokok. Hampir semua rumah di Indonesia punya televisi. Bagi yang tidak memilikinya pun, bisa menumpang nonton di drmah tetangga atau saudara. Seperti halnya benda yang lain, televisi bisa mendatangkan kebaikan dan keburukan bagi pemirsanya. Semua bisa bergantung pada acara yang ditayangkan di layar kaca tersebut. Secara umum harus kita cermati tentang:

MANFAAT TELEVISI

Paling tidak ada tiga manfaat yang hadir dari tayangan televisi. 
Pertama, manfaat yang bersifat kognitif ini antara lain berita, dialog, wawancara, debat dan sejenisnya. 
Kedua, manfaat afektif, yakni yang berkaitan dengan sikap dan emosi. Contohnya acara yang mendorong pada pemirsa memiliki kepekaan sosial, kepedulian antar sesama manusia. 
Ketiga, manfaat yang bersifat psikomotor, yaitu berkaitan dengan tindakan dan perilaku yang positif. Acara ini dapat kita lihat dari film, sinetron, drama dan acara-acara lainnya dengan syarat semuanya itu tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku atau merusak akhlak pada anak.

MUDHARAT TELEVISI

Banyak keburukan yang ditimbulkan oleh televisi, diantaranya:

1. Menyia-nyiakan waktu dan umur. Tak jarang banyak orang kehilangan waktu efektifnya karena menonton siaran televisi yang tidak berguna. Padahal semestinya waktu dan umur itu kita gunakan untuk menambah amal ibadah dan hal-hal yang penting lainnya.
2. Melalaikan tugas dan kewajiban. Menonton televisi dengan acara yang memikat dan menarik sering kali membawa pemirsanya pada kelalaian. Kalau sudah begitu, tugas dan kewajiban bisa terlupakan. Bahkan untuk ke masjid pun enggan dan cenderung mengulur-ulur waktu untuk sholat karena terbius acara televisi yang sayang kalau ditinggalkan.
3. Menumbuhkan sikap hidup konsumtif. Televisi sekarang identik dengan iklan ini mengajari pemirsa untuk berlaku konsumtif. Sekarang perilaku konsumtif ini pun muncul dalam sinetron dan film-film. Tak jarang iklan-iklan yang ada mempertontonkan adegan sesuatu yang tidak layak untuk ditonton.
4. Mengganggu kesehatan. Tidak baik terlalu sering dan terlalu lama terpaku di depan televisi karena bisa mengganggu kesehatan apakah mata, otak atau bagian tubuh lainnya karena kepenatan atau lainnya.
5. Alat transfer kejahatan dan kebejatan moral. Sifat manusia yang suka meniru, cenderung menjadikan tayangan televisi sebagai panutan. Dalam sistem kehidupan yang hedonistis sekuler, acara televisi cenderung membawa nilai-nilai Barat. Tanpa sadar, pemirsanya akan terbawa nilai-nilai tersebut jika tidak punya filter yang kuat. Tayangan sinetron dan film selalu menyertakan adegan kekerasan, pornografi, pornoaksi, dan perilaku menyimpang lainnya.
6. Memutuskan silaturahmi. Dengan kehadiran televisi di hampir setiap rumah tangga, banyak orang tidak lagi merasa membutuhkan teman, kawan, sahabat untuk misalnya; saling berbagi suka dan duka, saling bertukar pikiran dan berbagai keperluan lainnya sebagaimana layaknya hidup dan kehidupan suatu masyarakatyang islami.
7. Mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar murid. Ini terkait dengan habisnya waktu siswa karena kelamaan berada di depan televisi. Makanya, kita perlu bijak dan tepat dalam memperlakukan televisi bagi diri kita sendiri, keluarga maupun anak-anak kita. Jangan sampai kita tersandera oleh tayangan televisi. Pilihlah tayangan yang bermanfaat dan hindari yang mudharat. Jangan lupa lihat isi setiap tayangan. Tayangan televisi bisa menjerumuskan, Waspadalah!

Disisi lain, info atau berita yang ditayangkan oleh televisi, terkadang tidak bersikap independen dalam penyiaran tentang suatu kasus, tapi mengikuti mainstream atau arahan pihak tertentu. Begitu pula dalam kasus-kasus yang lain yang mengatasnamakan Islam, semisal kasus terorisme, mereka membabi buta memberitakan berita itu tanpa ada kekritisan, apakah itu setting pihak tertentu atau rekayasa. Pemirsa televisi digiring untuk membenarkan berita apapun yang ditayangkan oleh televisi. inilah yang disebut dengan penyesatan opini.

Semestinya, umat Islam waspada yang kritis menyikapi berita yang ada di media massa khususnya di televisi. Membandingkannya pada media tandingan yang berkompeten dalam perang opini dan pemikiran, yang lebih valid dan Islami, agar tidak mudah tergiring pada opini dan pemikiran yang menyesatkan. Umat perlu mengikatkan diri pada jamaah-jamaah Islamiyah yang ingin menjayakan Islam tegak di tengah-tengah masyarakat luas tanpa unsur kekerasan. Hendaknya umat senantiasa tercerahkan oleh pemikiran_pemikiran yang Islami dengan landasan akidah Islam yang kuat. Dengan begitu, tidak akan mudah terpedaya oleh propaganda busuk kaum liberal yang berusaha keras untuk menguasai media, meracuni pemikiran, merusak moral diri, remaja keluarga , dan memecah belah ukhuwah Islamiyah diantara kita.[irawan]



Jumat, 13 September 2019

BAGAIMANA KHILAFAH MENYELESAIKAN UTANG?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Utang ada yang diperbolehkan dan tidak. Utang yang diperoleh pada siapapun, baik domestik maupun asing, boleh dilakukan, dengan syarat tidak disertai riba. Karena akad utang riba tersebut jelas batil, dan haram. Utang yang diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara' juga tidak boleh, misalnya dengan konsesi penguasaan hak milik umum tertentu untuk diserahkann kepada pemberi utang.

Jika utang tersebut sah, secara syar'i, maka utang-piutang tersebut boleh. Jika tidak sah, maka utang tersebut jelas tidak boleh. Meski demikian, dua-duanya wajib dibayar, karena pembayaran ini merupakan pengembalian hak oleh penerima utang, kepada pemberi utang. Dengan catatan, jika ada riba, atau syarat lain yang bertentangan, maka riba atau syarat lainnya harus dibatalkan. Dengan begitu, yang wajib dikembalikan hanya uang pokoknya saja.

Allah SWT telah mewajibkan kita, baik sebagai individu maupun penguasa di dalam khilafah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar sesama Muslim maupun dengan orang-orang atau negara kafir. Dengan catatan, selama transaksi atau akad tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." [TQS Al-Ma'idah 5: 1].

Ayat ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara, adalah salah satu jenis transaksi [akad]. Jika individu, perusahaan ataupun negara, melakukan utang-piutang dengan pihak lain baik dengan perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara lain maka mereka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi tersebut selesai [berakhir].

Di samping itu, negara khilafah, tatkala baru berdiri, harus memperhatikan konstelasi politik internasional. Dalam hal ini, khilafah harus menciptakan citra di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai negara yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan memeranginya. Salah satu manuver yang dilakukannya untuk menarik simpati masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar utang pokok sebelumnya.

CARA BAYAR HUTANG

Lalu, bagaimana caranya khilafah membayar sisa cicilan utang pokoknya, dari mana uang yang diperoleh untuk membayar utang-utang sebelumnya? Untuk menyelesaikan masalah ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain:

1. Harus dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar utang tersebut. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar.

Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa sebelum munculnya khilafah, maka khilafah sebagai penguasa baru harus mengambilalih sisa cicilan pembayarannya, sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara goverment to government.

2. Sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga.

Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبٰوٓا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. [TQS. al-Baqarah 2: 278].

Ayat ini mengharuskan khilafah, individu maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.

3. Meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, khilafah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak pemberi utang bersedia memberikan cut off (pemutihan).

Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban negara. Namun, bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta reschedurescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).

4. Utang sebelumnya, akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh 'rezim ' sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan oleh negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat ini, 'lebih dari cukup ' guna memenuhi warisan utang luar negeri 'rezim' sebelumnya. Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, khilafah harus mengambil- alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara.

Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara. Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagai-nya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa 'rezim' sebelumnya, bukan rakyatnya.

5. Sementara itu, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar negerinya, khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.

Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan mereka di luar negeri, negara bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan utang-utang mereka. Namun. bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambilalih dan menalangi utang-utang
mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (ra'in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.

Demikianlah, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh khilafah guna mengatasi beban utang luar negeri 'rezim ' sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengganggu gugat harta kekayan yang dimiliki oleh masyarakat, yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Penyelesaian ini, secara bersamaan, akan menjatuhkan cengkraman negara-negara Barat kapitalis atas negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslim bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.

Namun demikian, perlu diingat, bahwa hal ini hanya bisa dilakukan tatkala khilafah sudah berdiri. Sebab. saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian banyak penguasa Muslim, yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya. Bahkan, para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun alternatif pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi. [ ]

Sabtu, 31 Agustus 2019

BERAPA LAMA PEMAKAN RIBA MASUK NERAKA?

By: Ustadz H. Dwi Condro Triono, Ph.D


Hasil gambar untuk haramnya riba

Di depan forum para pengusaha, saya biasa melemparkan pertanyaan: “Siapa di antara bapak ibu sekalian yang BELUM PERNAH mengambil RIBA, tolong tunjuk jari...!”.

Biasanya pertanyaan itu saya ulang-ulang. Apa hasilnya? 

Tidak ada satupun yang tunjuk jari..

Apa maknanya? 

Berarti benar apa yang disabdakan Rasul SAW. 
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
“Sungguh akan datang pada suatu masa, (ketika) semua manusia akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR An-Nasa’i, Ibnu Majah,  dan Abu Dawud).

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: sudah tahu bahwa riba itu HARAM, tetapi mengapa masih mengambil riba? 

Apa kira-kira jawabannya?

Sangat mengagetkan. Jawabnya adalah: “Haram-haram sedikit kan nggak apa-apa...?”. Betul tidak?

Nah, agar tidak ada jawaban seperti itu lagi, maka kita perlu lebih serius untuk menghitung-hitung, BERAPA LAMA orang yang mengambil riba itu akan masuk neraka?

Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, bagi para pemakan riba yang masih meyakini bahwa riba itu HARAM hukumnya, maka dia tidak akan masuk neraka selama-lamanya. 

Lantas, akan masuk neraka berapa lama?

Untuk dapat membuat SIMULASI hitungan-nya, mari kita lihat dulu penjelasan Hadits tentang dosa riba bagi para pelakunya. 

Rasulullah SAW bersabda:

 دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu riba), maka itu lebih berat daripada tiga puluh enam kali berzina”. (HR. Ahmad, Ath-Thabrani). 

Ancaman bagi pelaku riba itu sangat mengerikan.!

Satu dirham dari riba, dosanya lebih berat dari berzina, bahkan lebih berat dari 36 kali berzina.!

Padahal kita sudah faham bahwa berzina itu adalah dosa yang sangat besar. 

Satu dirham itu sekitar 3 gram perak. Sedangkan 1 gram perak itu (untuk harga yang murah) setara dengan 20 ribu rupiah. 

Berarti, 1 dirham itu sekitar 60 ribu rupiah. Lantas, berapa lama dia akan disiksa di neraka?

Marilah kita buat SIMULASINYA. 

Misalnya seseorang mengambil kredit rumah tipe 36 melalui Bank konvensional dengan aqad utang-piutang yang ada tambahan bunganya (baca: riba), sebesar 10 % (untuk mempermudah, misalnya dengan menggunakan bunga tetap). 

Harga rumah tipe 36 yang murah adalah 200 juta, jika dibeli dengan pembayaran tunai. Jika membelinya dengan kredit selama 10 tahun, maka bunganya: (10% X 200 juta) 10 tahun = 200 juta rupiah.

Berapa lama akan masuk neraka? 

Cara menghitungnya: 200 juta dibagi 60 ribu (nilai 1 dirham) dikalikan 36 kali berzina.

Nah, berapa lama orang yang berzina akan di siksa di neraka? 

Jika kita menggunakan perbandingan “relativitas waktu” menurut Al-Qur’an, yaitu dalam Surat Al-Ma’arij ayat 4:

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ﴿٤﴾
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun (dunia)” (QS. Al-Ma’arij: 4).

Menurut ayat di atas, perbandingan 1 hari akherat itu sama dengan 50 ribu tahun dunia. 

Untuk memperkuat pemahaman di atas, kita juga dapat melihat  penjelasan dari Rasulullah SAW berkaitan dengan perbandingan lamanya hidup di dunia ini dengan di akherat. 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ إِلَّا جُعِلَ صَفَائِحَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ عِبَادِهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ ثُمَّ يُرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ (أحمد)

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang pun pemilik simpanan yang tidak menunaikan haknya (mengeluarkan hak harta tersebut untuk dizakatkan) kecuali Allah akan menjadikannya lempengan-lempengan timah yang dipanaskan di neraka jahanam, kemudian kening dan dahi serta punggungnya disetrika dengannya, hingga Allah SWT berkenan menetapkan keputusan di antara hamba-hambaNya, pada hari yang lamanya mencapai lima puluh ribu tahun yang kalian perhitungkan (berdasarkan tahun dunia). (Baru) setelah itu ia akan melihat jalannya, mungkin ke surga dan mungkin juga ke neraka.” (HR Ahmad 15/288).

Dengan demikian, jika diasumsikan bermaksiyat di dunia ini, yaitu melakukan perzinaan 1 kali di dunia, akan disiksa di dalam neraka selama 50 ribu tahun, maka berapa lama orang yang mengambil riba seperti di atas itu akan di siksa di neraka? Jawabnya adalah: [ (200 juta / 60 ribu) X 36 ] X 50 ribu tahun = 6 milyar tahun...!

Masya Allah...! 

Hanya mengambil kredit rumah tipe 36 saja harus disiksa di neraka selama 6 milyar tahun...? 

Na’udzubillahi min dzalik...!

Jumat, 30 Agustus 2019

HUKUM MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI BAGI UMAT ISLAM

By: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

   Hasil gambar untuk tahun baru 2020

Perayaan tahun baru Masehi (new year’s day, al-ihtifal bi rasi as-sanah) bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (www.en.wikipedia.org; www.history.com) 

Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja (church servives), maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain. (www.en.wikipedia.org)
Berdasarkan manath (fakta hukum) tersebut, haram hukumnya seorang muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru Masehi.

Dalil keharamannya ada 2 (dua);

Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffaar).

Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim).

Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah SWT :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقُولُوا۟ رَٰعِنَا وَقُولُوا۟ ٱنظُرْنَا وَٱسْمَعُوا۟ ۗ وَلِلْكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah [2] : 104).

Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karena orang Yahudi menggumamkan kata ru’uunah (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah SAW seakan-akan mereka mengucapkan raa’inaa (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149).

Ayat-ayat yang semakna ini banyak, antara lain QS. Al-Baqarah: 120; QS. Al-Baqarah: 145; QS Ali ‘Imran: 156; QS. Al-Hasyr: 19; QS. Al-Jatsiyah: 18-19; dll (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/7; Wail Zhawahiri Salamah, At-Tasyabbuh Qawa’iduhu wa Dhawabituhu, hlm. 4-7; Mazhahir At-Tasyabbuh bil Kuffar fi Al-‘Ashr Al-Hadits, hlm. 28-34).
Dalil umum lainnya sabda Rasulullah SAW :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 5/20; Abu Dawud no. 403). Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. (Fathul Bari, 10/271).
Hadits tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fi khasha`ishihim), seperti aqidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As-sunnah An-Nabawiyyah, hlm. 22-23).

Selain dalil umum, terdapat dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir.
Dari Anas RA, dia berkata :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dahulu kaum jahiliyyah mempunyai dua hari raya setiap tahun untuk bermain-main (bersenang-senang). Maka ketika Nabi SAW datang ke kota Madinah, Rasulullah SAW bersabda, “Dahulu kalian punya dua hari raya untuk bermain-main pada dua hari itu dan sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.”” (HR. Abu Dawud, no. 1134)
Hadits ini dengan jelas telah melarang kaum muslimin untuk merayakan hari raya kaum kafir. (Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhalafatul Kuffar fi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm. 173).

Berdasarkan dalil-dalil di atas, haram hukumnya seorang muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan, dan sebagainya. Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffaar) yang telah diharamkan Islam. Wallahu a’lam.[] 

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 118

HUKUM MENYEWAKAN LAHAN PERTANIAN

By: KH Hafidz Abdurrahman

   Hasil gambar untuk lahan pertanian

Pemilik tanah pertanian tidak dibolehkan menyewakan tanah pertaniannya untuk bercocok tanam maupun ditanami pohon. Karena kedua-duanya termasuk dalam pengertian muzara’ah. Hukumnya dinyatakan haram dengan tegas oleh syara’.

Dalilnya adalah sejumlah hadits yang menyatakan larangan menyewakan tanah. Antara lain, hadits yang dinyatakan dalam Sunan an-Nasa’i, “Rasulullah saw telah melarang untuk menyewakan tanah. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kami menyewakannya dengan imbalan biji-bijian?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan jerami?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan hasil tanaman yang ditanam di sungai kecil.” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh. Tanamilah, atau serahkan kepada saudaramu.” [HR An-Nasa’i]

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah ra, berkata, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah [pertanian], maka hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaramu. Jika dia tidak mau [seperti itu], maka hendaknya dia menahan tanahnya.” Dalam riwayat lain, dari Jabir, “Rasulullah saw. melarang Muhaqalah, Muzabanah, dan Mukhabarah.” [HR Muslim]

Makna, “Maka hendaknya, dia menahan tanahnya.” adalah untuk ditanami sendiri. Itulah yang dimaksud oleh konteks kalimat ini. Karena itu, keharaman menyewakan lahan ini jelas dinyatakan dengan tegas dalam sejumlah hadits.

Mengenai dalil-dalil yang menyatakan kebolehannya, antara lain, yang digunakan oleh mazhab Syafii, “Kami menggunakan penduduk Khaibar untuk mengerjakan tanah perkebunan Khaibar, dengan upah tanaman maupun buah-buahan.” Yang memberi peluang kedua-duanya bisa dilakukan, yaitu Muzara’ah dan Musaqat, maka membawa hadits tersebut pada konotasi Musaqat jelas lebih kuat, karena adanya riwayat lain yang dinyatakan oleh ‘Aisyah ra, bahwa Nabi SAW memberikan hasil panen dari tanah Khaibar kepada para istrinya berupa buah-buahan.

Karena itu, makna musaqat, lebih kuat dibanding makna muzara’ah. Dengan kata lain, menggunakan makna musaqat adalah bentuk penggunaan dalil [istidlal] dengan dalil, bukan istidlal dengan syubhat dalil. Sedangkan menggunakan konotasi muzara’ah, dalam konteks ini, adalah bentuk istidlal dengan syubhat dalil. Perlu dicatat, syubhat dalil itu kadang berupa dalil Alquran dan as-Sunnah, tetapi dalalah yang digunakan adalah dalalah yang marjuhah [lemah], bukan dalalah yang rajihah [kuat].

Adapun larangan menyewakan lahan untuk pertanian tersebut meliputi dua konteks. Pertama, lahan tersebut digunakan untuk bertani [muzara’ah], yang ditanami tanaman yang tidak mempunyai pohon. Kedua, lahan tersebut digunakan untuk perkebunan [tasyjir], juga tidak boleh.

Mengenai kebolehan musaqat, dijelaskan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin, dalam nasyrah [21/12/1969], bahwa musaqat adalah melakukan akad ijarah terhadap pohon dengan upah berupa buahnya, atau menyewakan pohon berikut tanah yang digunakan untuk tumbuh, dengan upah sebagian dari buahnya, atau tanaman [zuru’], dengan syarat, jumlah pohonnya lebih banyak. Adapun menyewakan tanah untuk ditanami pohon, maka ini termasuk muzara’ah, bukan musaqat. Karena itu, tetap tidak dibolehkan.

Karena itu, tidak diperbolehkan memberikan tanah pertanian untuk disewa orang lain, agar dia tanami dengan pohon. Yang boleh adalah, seorang pemilik tanah menanami sendiri tanahnya dengan pepohonan dan tanaman yang lainnya, kemudian diijarahkan dengan orang lain yang mengurusnya, dengan upah berupa buah yang dihasilkannya. Inilah yang disebut musaqat. Wallahu a’lam. [] har

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 235

BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG ADAT ISTIADAT

By: KH Hafidz Abdurrahman


   Hasil gambar untuk adat istiadat

Adat istiadat adalah produk pemikiran. Hanya saja, tidak dalam bentuk materi, tetapi nonmateri. Karena itu adat istiadat adalah sebagian dari peradaban (hadhârah), bukan produk materi (madaniyyah).

Sebagai produk pemikiran, adat istiadat lahir atau terpancar dari akidah tertentu. Karena itu, ketika adat istiadat itu tidak bertentangan, atau sesuai dengan syariah Islam, tidak boleh serta merta didakwa sebagai sebagian dari Islam. Sebab, adat istiadat tersebut lahir atau terpancar dari akidah lain. Bukan dari akidah Islam.

Memang ada sebagian fuqaha’ menjadikan adat-istiadat (al-‘âdat) dan konvensi (al-‘urf) sebagai dalil. Alasannya, karena Allah SWT memerintahkan:

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (TQS. al-A’raf [7]: 199).

Frasa, “wa’mur bi al-urf” (suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) ini mereka gunakan sebagai justifikasi. Mereka menjustifikasi konotasi ini dengan beberapa masalah fikih, yang mereka dakwa, ditetapkan berdasarkan penggunaan konvensi (‘urf). Bahkan, mereka juga mendakwa bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah mengakui sejumlah konvensi dan adat istiadat. Karena itu, bagi mereka adat istiadat dan konvensi itu merupakan dalil syariah.

Mengenai TQS al-A’raf ayat 119 di atas, yang mereka gunakan untuk menjustifikasi adat istiadat sebagai dalil, jelas keliru.

Alasannya: Pertama, ayat yang mereka dakwa sebagai dalil syariah ini sebenarnya tidak ada relevannya dengan adat istiadat atau konvensi. Ayat ini merupakan ayat Makkiyah. Diturunkan sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah.

Makna ayat ini adalah, “Ambillah perbuatan, akhlak masyarakat, dan apa saja yang datang dari mereka, yang dibenarkan untukmu (Muhammad). Kamu pun mudah (berinteraksi) dengan mereka, tanpa beban. Kamu tidak meminta jerih payah dari mereka, dan apa saja yang boleh memberatkan mereka, sehingga mereka lari.”

Mengenai perintah, “wa’mur bi al-‘urfi” maknanya adalah perintahkanlah perbuatan baik. ‘Urf di sini konotasinya adalah al-ma’rûf (perbuatan yang terpuji). Adapun dakwaan bahwa Nabi saw. telah mengakui adat-istiadat, atau konvensi, maka ini juga tidak boleh dijadikan dalil untuk menjadikan adat-istiadat atau konvensi sebagai dalil. Yang perlu dijadikan sebagai dalil adalah pengakuan Nabi saw. itu sendiri. Dengan kata lain, dalilnya bukan adat istiadat atau konvensi, tetapi hadis Nabi saw.

Kedua, konvensi (‘urf) adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus. Jika dilakukan oleh individu disebut adat istiadat (al-‘âdat). Jika dilakukan oleh komunitas atau kelompok disebut konvensi [al-‘urf]. Semua perbuatan ini perlu dilaksanakan berdasarkan syariah Islam. Ini karena setiap Muslim wajib melaksanakan perbuatannya mengikuti perintah dan larangan Allah SWT. Syariahlah yang mesti dijadikan patokan adat istiadat atau konvensi. Bukan sebaliknya. Adat-istiadat atau konvensi tidak boleh dijadikan baik sebagai dalil maupun kaidah syariah.

Ketiga, kadangkala adat-istiadat atau konvensi tersebut menyalahi syariah, kadangkala tidak. Jika adat-istiadat atau konvensi menyalahi syariah, maka syariah datang untuk membersihkan atau mengubahnya.

Hal ini karena di antara tugas syariah adalah mengubah adat istiadat atau konvensi yang rusak, bukan memeliharanya. Jika adat-istiadat atau konvensi tersebut tidak menyalahi syariah, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil dan ‘illat syariah, bukan berdasarkan adat istiadat atau konvensi tersebut. Syariahlah yang menjadi dasar kepada adat istiadat atau konvensi. Bukan sebaliknya.

Keempat, adat istiadat atau konvensi tidak memiliki akar [ushûl], baik dalam Alquran, Sunah, maupun Ijmak Sahabat. Karena itu adat istiadat atau konvensi tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai dalil syariah. Ini karena, apapun tidak diakui sebagai dalil syariah, kecuali dinyatakan oleh Alquran dan Sunah.

Kelima, adat istiadat atau konvensi itu ada yang baik (hasan), dan ada yang tidak (qabîh). Adat istiadat atau konvensi yang tidak baik, pasti tidak diakui. Lalu apa yang membedakan antara adat istiadat atau konvensi yang hasan dan qabîh? Akal atau syariah?

Jika akal yang digunakan untuk membedakan hasan dan qabîh, maka pasti tidak mampu, karena tidak boleh menjangkau apa yang ada di balik hasan dan qabîh tersebut, yaitu pujian dan celaan (al-madh wa ad-dzam) atau pahala dan dosa (ats-tsawâb wa al-‘iqâb). Jika akal tetap dipaksakan untuk memutuskan, maka hasilnya akan mematikan dan kacau. Karena itu keputusannya mesti diserahkan pada syariah, bukan pada akal.

Keenam, mengenai konvensi yang menjadi istilah (al-ishthilâh) dan patokan (at-taqdîr) dalam masyarakat, maka istilah adalah penggunaan nama-nama untuk objek tertentu, baik yang kemudian dikenal dengan makna hakiki menurut bahasa (haqîqah lughawiyyah), konvensi (haqîqah ‘urfiyyah), atau makna hakiki menurut syariah (haqîqah syar’iyyah), semuanya ini merupakan istilah. Sebagai contoh, penggunaan kata fi’il, fâ’il, maf’ûl di kalangan ulama nahwu adalah istilah. Kata salat, shaum, zakat, haji, dan jihad adalah juga istilah yang digunakan syariah.

Adapun patokan (taqdîr) yang digunakan di tengah masyarakat, maka yang diakui adalah apa yang dinyatakan oleh nas. Yang tidak dinyatakan oleh nas tidak diakui. Selain itu, istilah dan patokan ini bukan merupakan adat-istiadat dan konvensi, sebagaimana yang mereka maksud.

Ketujuh, mengenai sejumlah hukum yang didakwa menggunakan adat istiadat atau konvensi sebagai dalilnya, maka ada dua kemungkinan:

Pertama, hukumnya benar, tetapi salah dalam penggunaan dalilnya.

Misalnya, teman yang bertamu di rumah temannya, dia dibolehkan makan makanan temannya. Dalilnya bukan adat istiadat atau konvensi, melainkan TQS an-Nur [24]: 41. Makan buah yang jatuh dari pohon dibolehkan, bukan karena adat istiadat atau konvensi, melainkan kerana Hadis Nabi saw. yang membolehkan memakannya. Diamnya anak gadis yang menandakan persetujuannya untuk dinikahkan dengan lelaki juga bukan karena adat istiadat atau konvensi, melainkan karena Hadis Nabi saw.

Kedua, hukum dan dalilnya salah.

Misalnya, ketika seorang istri yang sudah ditiduri suaminya, lalu dia mendakwa suaminya belum membayar sedikit pun maharnya, kemudian dia menuntut agar seluruh maharnya dibayarkan, maka dakwaan seperti ini tidak boleh diikuti. Sebaliknya, hakim wajib menolaknya, jika adat istiadat atau konvensi penduduk dalam pernikahan, biasanya tidak dinikahkan kecuali dengan dibayarkan maharnya.

Dengan begitu, adat istiadat atau konvensi tersebut boleh dijadikan dalil hukum syariah. Dalam konteks ini, kesalahannya ada pada hukum dan dalilnya, karena hak (mahar) tidak boleh digugurkan dengan menggunakan perbahasan adat-istiadat atau konvensi.

Semestinya, dakwaan istri terhadap suaminya tadi wajib didengarkan, jika memang terbukti belum dibayar, maka perlu dihukum sebagaimana haknya, tanpa melihat adat-istiadat atau konvensi.

Semua ini membuktikan bahwa adat-istiadat atau konvensi itu tidak boleh dijadikan dalil hukum syariah. Adat-istiadat atau konvensi juga tidak layak dijadikan sebagai kaidah syariah. Kerana kaidah syariah adalah hukum kulli (menyeluruh), atau hukum ‘âm (umum).

Adapun adat-istiadat atau konvensi bukan merupakan hukum kulli, juga bukan hukum ‘âm kerana tidak memiliki sebahagian (juz’iyyât) dan rincian (afrâd).

Mengenai adat istiadat atau konvensi penduduk Madinah, yang dijadikan dalil oleh Imam Malik, maka ditegaskan oleh Dr. Said Ramadhan al-Buthi, dalam kitabnya, Dhawâbith al-Mashlahah, bahawa adat-istiadat atau konvensi penduduk Madinah yang boleh dijadikan sebagai dalil, disyaratkan tidak menyalahi hukum syariah.

Meski demikian, penulis berpendapat, kalau pun adat istiadat atau konvensi penduduk Madinah dijadikan dalil, sebenarnya bukan karena adat istiadat atau konvensi itu sendiri, tetapi karena dalil yang menjadi dasar adat istiadat atau konvensi tersebut. Dengan anggapan, Nabi saw. hidup bersama para sahabat di Madinah selama 10 tahun. Baginda melihat, mendengar, mengakui apa yang mereka lakukan di depan beliau. WalLâhu a’lam. [MN]