Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Utang ada yang diperbolehkan dan tidak. Utang yang diperoleh pada siapapun, baik domestik maupun asing, boleh dilakukan, dengan syarat tidak disertai riba. Karena akad utang riba tersebut jelas batil, dan haram. Utang yang diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara' juga tidak boleh, misalnya dengan konsesi penguasaan hak milik umum tertentu untuk diserahkann kepada pemberi utang.
Jika utang tersebut sah, secara syar'i, maka utang-piutang tersebut boleh. Jika tidak sah, maka utang tersebut jelas tidak boleh. Meski demikian, dua-duanya wajib dibayar, karena pembayaran ini merupakan pengembalian hak oleh penerima utang, kepada pemberi utang. Dengan catatan, jika ada riba, atau syarat lain yang bertentangan, maka riba atau syarat lainnya harus dibatalkan. Dengan begitu, yang wajib dikembalikan hanya uang pokoknya saja.
Allah SWT telah mewajibkan kita, baik sebagai individu maupun penguasa di dalam khilafah, untuk selalu terikat dengan berbagai transaksi (akad), baik antar sesama Muslim maupun dengan orang-orang atau negara kafir. Dengan catatan, selama transaksi atau akad tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Allah SWT berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." [TQS Al-Ma'idah 5: 1].
Ayat ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Muslim untuk selalu menepati transaksi-transaksi yang telah mereka lakukan. Utang luar negeri, baik yang dilakukan oleh perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara, adalah salah satu jenis transaksi [akad]. Jika individu, perusahaan ataupun negara, melakukan utang-piutang dengan pihak lain baik dengan perorangan, instansi, perusahaan, maupun negara lain maka mereka harus menunaikan transaksi itu hingga transaksi tersebut selesai [berakhir].
Di samping itu, negara khilafah, tatkala baru berdiri, harus memperhatikan konstelasi politik internasional. Dalam hal ini, khilafah harus menciptakan citra di tengah-tengah masyarakat internasional, sebagai negara yang adil, bertanggung jawab dan berusaha meraih dukungan masyarakat internasional untuk menghadapi negara-negara besar yang memusuhi dan memeranginya. Salah satu manuver yang dilakukannya untuk menarik simpati masyarakat internasional adalah dengan tetap membayar utang pokok sebelumnya.
CARA BAYAR HUTANG
Lalu, bagaimana caranya khilafah membayar sisa cicilan utang pokoknya, dari mana uang yang diperoleh untuk membayar utang-utang sebelumnya? Untuk menyelesaikan masalah ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain:
1. Harus dipisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar utang tersebut. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar.
Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa sebelum munculnya khilafah, maka khilafah sebagai penguasa baru harus mengambilalih sisa cicilan pembayarannya, sebagai akibat bahwa transaksi utang itu dilakukan antara goverment to government.
2. Sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga.
Allah SWT berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبٰوٓا إِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. [TQS. al-Baqarah 2: 278].
Ayat ini mengharuskan khilafah, individu maupun perusahaan yang memiliki utang luar negeri, membayar sisa cicilan pokoknya saja. Diharamkan untuk menghitung serta membayar sisa bunga utang.
3. Meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, khilafah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam pembayaran; bisa dilakukan lobi agar pihak pemberi utang bersedia memberikan cut off (pemutihan).
Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban negara. Namun, bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta reschedurescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).
4. Utang sebelumnya, akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh 'rezim ' sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan oleh negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat ini, 'lebih dari cukup ' guna memenuhi warisan utang luar negeri 'rezim' sebelumnya. Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, khilafah harus mengambil- alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara.
Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara. Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagai-nya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa 'rezim' sebelumnya, bukan rakyatnya.
5. Sementara itu, utang luar negeri yang dipikul swasta (baik perorangan maupun perusahaan) dikembalikan kepada mereka untuk membayarnya. Misalnya, bisa dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang untuk menomboki utang luar negerinya, khilafah bisa mengambil paksa harta kekayaan maupun deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.
Kenyataannya, amat banyak para konglomerat yang memiliki simpanan harta kekayan pribadi yang luar biasa besarnya dan diparkir di luar negeri. Terhadap simpanan mereka di luar negeri, negara bisa menjadikannya sebagai jaminan pelunasan utang-utang mereka. Namun. bila jumlah harta kekayaan mereka belum mencukupi juga, negara harus mengambilalih dan menalangi utang-utang
mereka, karena negara adalah penjaga dan pemelihara (ra'in) atas seluruh rakyatnya, tanpa kecuali.
Demikianlah, beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan oleh khilafah guna mengatasi beban utang luar negeri 'rezim ' sebelumnya. Penyelesaian ini tanpa mengganggu gugat harta kekayan yang dimiliki oleh masyarakat, yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan dan kemakmuran seluruh masyarakat.
Penyelesaian ini, secara bersamaan, akan menjatuhkan cengkraman negara-negara Barat kapitalis atas negeri-negeri Islam, memutus ketergantungan laten yang membahayakan eksistensi negeri-negeri Islam, dan memberikan kepercayaan diri yang amat besar bagi kaum Muslim bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekayaan yang amat besar.
Namun demikian, perlu diingat, bahwa hal ini hanya bisa dilakukan tatkala khilafah sudah berdiri. Sebab. saat ini tidak ada satu negeri Islam pun atau seorang penguasa pun dari sekian banyak penguasa Muslim, yang berani dan tegas untuk memutus rantai utang luar negeri, karena hal itu sama dengan menghadapi IMF dan Bank Dunia yang di-backing AS dan sekutunya. Bahkan, para penguasa Muslim saat ini tidak mempunyai pemikiran produktif, sehingga tidak mempunyai alternatif pendapatan negara maupun alternatif pembayaran utang luar negeri, kecuali dengan mengemis dari luar negeri lagi. [ ]
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan komentar dengan baik dan bijaksana
Dilarang membuat spam di blog ini
Mohon maaf bila ada komentar yang belum dijawab/dibalas