Nggak sedikit muslimah yang ogah menutup aurat. Nggak
sedikit juga yang malah ‘menjualnya’. Inikah produk demokrasi?
Buat para akhwat yang hidup di jaman Windows 10 ini, menutup bodi
dengan jilbab dan kerudung memang dilema. Mereka kudu milih antara kewajiban
menutup aurat dengan gaya .
Satu sisi perintah agama, di sisi lain kayaknya kok nggak gaul ya? Kewajiban
udah jelas, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka ama telapak tangan,
pekik para ulama. So, rambut, telinga, leher, bodi plus awak, wajib diumpetin
di balik khimar dan jilbab. Sementara itu, pergaulan nuntut sebaliknya. Kudu
trendi, ngegaya, dan ini…harus memamerkan ‘aset-aset’ pribadi. Yang kulitnya
mulus, sayang kalo diumpetin. Yang rambutnya indah terurai, kenapa juga kudu
dibungkus kain kerudung, emangnya lemper.
Belum lagi macam-macam pandangan en tuntutan orang laen buat cewek
berkerudung plus berjilbab kayaknya gimana gitu. Kudu pinter baca Al Qur’an,
kudu jauh dari acara ngegosip, kudu jaga jarak ama kendaraan di depan eh ama
cowok dalam pergaulan, en segudang kudu-kudu laennya. Tuntutan kayak begitu
terang aja bikin banyak cewek jiper alias ngeri untuk berkerudung dan
berjilbab.
Nggak Wajib?
Whuaaa…yang bener aja? Yup, itu setidaknya dilontarkan oleh
sejumlah ‘cendekiawan’ muslim kontemporer. Jaman Orde Baru masih berkuasa, ada
seorang pejabat yang bersemangat menentang kewajiban berjilbab dengan bilang,
“Anak dan istri saya saja tidak berjilbab.” Hmm, berani-beraninya. Kalau
sekarang jama’ah islam liberal paling getol menghujat kewajiban
jilbab ini. Kata mereka, para ulama yang menafsirkan jilbab itu udah
terpengaruh diskriminasi gender. Mereka mendiskriditkan kaum wanita. Pendapat
mereka ini tentunya bersandarkan pada pendapat para orientalis, pemikir yang
satu geng, dan juga kajian Islam secara sosiohistoris. Mereka juga keberatan
seandainya jilbab itu dipaksakan atas setiap muslimah. Pokoknya, berjilbab itu
harus karena kesadaran sendiri.
Pertama, mereka bilang kalau jilbab
itu budaya Arab, bukan budaya Islam. Lagian, ajaran Islam itu kudu
dicocokin ama kondisi budaya setempat. Istilahnya Islam lokal. Prinsip mereka, “Tidak diingkari perubahan hukum (syara’)
dengan perubahan zaman dan tempat”. Ya, mirip-mirip burger racikan
McDonald. Semua harus burger ala Amrik kan ?
Perlu ada rasa lokal. Maka dibikinlah McRendang, McSatay, McBangkok, malah ada
juga burger tempe .
Jadi ada juga “jilbab” ala Indonesia .
Yang gimana tuh? Yang penting SOPAN, tidak menggoda pria, kata mereka. Seorang
pemikir Islam malah menyebut jilbab itu lebih pada suruhan untuk sopan dan
bersahaja (modesty) yang bisa dilakukan siapa saja.
Kedua, masih kata mereka, jilbab itu diwajibkan di jaman wanita belum dihargai.
Buktinya, menurut mereka, surat
Al Ahzab ayat 59 berbunyi, “Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu.” Nah,
karena kata mereka sekarang ini kaum wanita sudah banyak dihargai maka
berjilbab bukan kewajiban lagi.
Teman-teman, pendapat-pendapat di atas jelas punya banyak
kelemahan dan ketidakberesan. Emang bener kalau budaya Arab itu nggak selamanya
identik dengan budaya Islam. Contohnya, naik unta itu nggak fardlu juga nggak
sunnah, walaupun seumur hidup Rasulullah naik unta. And so on pakai terompah ala Ali Baba atau
Aladdin juga nggak wajib. Buat kita, yang jadi bagian hukum syara’ itu adalah
apa yang diatur sama Allah di dalam dalil-dalil syara (Al Qur’an, As sunnah,
Ijma shahabat dan qiyas). So, kalau dalam keempat sumber hukum Islam itu ada
keterangannya, en jelas hukumnya, ya itu adalah bagian dari ajaran Islam. Bukan
budaya bangsa mana-mana. Contohnya, bacaan shalat en azan itu emang harus pake
bahasa Arab nggak bisa diganti ama bahasa lain, baik bahasa daerah
masing-masing, apalagi coba-coba pake bahasa tubuh.
Walaupun jilbab dan kerudung itu sudah dipakai sebagian kaum
wanita di Arab di jaman pra-Islam, tapi kita mengakuinya sebagai hukum syara’
karena begitulah yang dikatakan Islam. Bukan cuma buat wanita Arab. Islam juga
yang ngasih batasan-batasan en ketentuan berjilbab yang khas bagi para
muslimah. Simak aja firman Allah,
“Wahai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, dan anak-anakmu dan istri-istri orang
beriman …”(Al Ahzab: 59).
Jadi, perintah berjilbab dan berkerudung
itu adalah atas setiap muslimah, baik dia orang Arab ataupun bukan orang Arab.
Pernyataan bahwa jilbab itu wajib karena di zaman itu perempuan
nggak dihargai, korslet !!. Kagak nyambung. Karena pada zaman kekhilafahan Islam,
saat kaum wanita terlindungi dan merasa aman, tetap saja mereka wajib
mengenakannya. Lagian, kalau pernyataannya seperti itu, gimana dengan zaman
sekarang, dimana perempuan jauh lebih nggak dihargai ketimbang di zaman
jahiliyah? Liat aja kekerasan pada wanita sekarang jauh lebih meningkat
ketimbang jaman Rasulullah saw. dulu. Terus, kalau dibilang pakaian cewek yang
penting sopan (modesty), nah sopan versi mana dulu nih. Kalau menurut penganut
‘madzhab’ sekuler-liberalisme nich ...celana melorot ke pinggang yang
mereka pake itu pasti terkategori sopan. Ber-koteka, ala jaman purba pastinya juga udah terbilang sopan. Nah, mau ikut sopan versi mana nih?
Dalam kehidupan manusia, seringkali diperlukan paksaan untuk
berbuat baik. Ini nggak bisa ditolak. Bukankah manusia suka berbuat begitu pada
sesamanya? Liat aja aturan 3 in 1 di Jakarta ,
itu kan
paksaan juga? Atau bayar pajak juga paksaan, kan ? Gelinya, para pengkritik jilbab ini
nggak pernah kedengaran tuh mengkritik paksa-memaksa sesama manusia. Tapi Allah
mereka kritik kalau maksa-maksa manusia. Jangan-jangan nanti bakal ada
tanggapan, kalau
mau berhenti nyopet ya harus karena kesadaran sendiri jangan karena dipaksa.
ANCURRR!...
Intinya sih, kita mau bilang, kalau ukuran baik dan buruk, terpuji
dan tercela, diserahkan pada akal en hawa nafsu manusia, hasilnya ANCURRRR! Nah, daripada belaga pinter padahal ber-IQ jongkok,
mendingan kita nurut aja deh pada yang dikatakan Allah.
Racun
Demokrasi
Usaha-usaha untuk ngancurin citra jilbab emang dahsyat bener.
Udahlah secara pemikiran diancurin seperti cara-cara di atas, eh praktiknya
juga diacak-acak. Seperti yang bisa kamu baca di Studia 1, nggak sedikit
muslimah yang niatnya ingin menutup aurat, tapi sayang belum sempurna. So, mata
para cowok belum juga bebas dari pemandangan yang tidak boleh dipandang,
gara-gara nggak sedikit muslimah yang belum total nutup aurat mereka.
Keliatannya, mereka juga ingin berbusana muslimah tapi juga nggak mau keilangan
kesempatan untuk Te
Pe (Tebar Pesona).
Jadilah mereka berkerudung tapi tetap full
press body.
Ini semua, berawal dari diterimanya paham demokrasi dalam
kehidupan kaum muslimin. Yup, seperti yang kamu tahu dalam demokrasi emang
berdagang kebebasan. Manusia-manusia demokratis bebas berbuat apa saja, asalkan
nggak mengganggu kebebasan orang lain. Dalam demokrasi pula nggak ada prinsip
benar dan salah yang absolut atawa mutlak. Semua serba relatif, nisbi.
Ukurannya diserahkan pada keinginan pribadi dan suara mayoritas. Nah, ada empat
kebebasan yang diusung demokrasi: kebebasan berpendapat, kebebasan beragama,
kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku. Gara-gara prinsip
kebebasan berpendapat, muncullah pendapat jilbab itu nggak wajib karena itu
budaya Arab. Nah, dengan prinsip kebebasan bertingkah laku, kaum muslimah yang
sudah terinfeksi paham demokrasi, ngerasa sah-sah saja tidak menutup aurat. Ini
kan badan
gue! Mo pake
Kata mereka. And so on, mau pake kerudung model apapun juga boleh.
Nah, aspirasi kebebasan para muslimah ini ditangkap oleh para pengusaha yang
kapitalis. En mereka manfaatkan nafsu liar para muslimah itu untuk mengeruk
keuntungan sebanyak-banyaknya. Bak gayung bersambut, para muslimah yang kagak
kuat iman, dan tergiur kepengen ngetop dengan cepat, ngantri di pintu para
pengusaha kapitalis itu. Yang kulitnya mulus beruntung bisa jadi foto model
produk kosmetik atau sabun kecantikan. Yang kulitnya mirip-mirip amplas juga
bisa jadi foto model…salep kulit ama sabun cuci.
Meski begitu eksploitasi atau penjajahan terhadap wanita dengan
cara seperti ini nggak pernah tuh digugat. Kalaupun pernah, tapi nggak seheboh
para pemikir muslim kontemporer atau para feminisme menggugat jilbab dan
poligami. Karena memang prinsip mereka adalah liberalisme, kebebasan. Selama
‘pelaku’ dan ‘korban’nya merasa enjoy, ya itu sah-sah aja. Bukan eksploitasi
tapi menjalankan profesi.
Solusi
Total
Maka penyebab muslimah belum sadar berbusana komplit, adalah
demokrasi dan sekulerisme penyebabnya. Di alam ini, para muslimah diracuni
lewat berbagai jalan agar melepaskan jilbab dan kerudungnya. Lewat sinetron-sinetron bertema remaja, misalkan,
para muslimah diajarkan supaya berani memamerkan bodi mereka di depan kaum
cowok.
Sementara pemikiran mereka diancurin dengan ideologi sesat
sekulerisme-liberalisme. Selain muncul pemahaman kalau berjilbab itu nggak
wajib, juga dikesankan jilbab-kerudung itu menghambat aktivitas, en terkesan
norak dan kampungan. Agar para muslimah selamat, nggak ada jalan lain kecuali
menghancurkan sekulerisme. Cuma, untuk itu para muslimah kudu menumbuhkan
sendiri keyakinan akan kebenaran Islam. Bahwa apa yang dibawa oleh Islam itu
benar tanpa ada keraguan. So, ngaji adalah satu-satunya jalan. Dengan serius
dan penuh keikhlasan ngaji, insya Allah pikiran kita jadi bersih. Dakwah adalah
langkah selanjutnya setelah mengaji. Kampanye penegakan syari’ah juga harus
dibarengi dengan kampanye busana muslimah. Perlu diserukan kepada para muslimah
bahwa:
JILBAB ADALAH KEWAJIBAN BUKAN
PILIHAN.
Tips Memilih Pakaian yang Nyaman dan Aman
Pakaian
yang nyaman, maksudnya pakaian yang nggak bikin gerah, adem, nggak ngganggu
buat beraktivitas, dan tentunya menambah pede. Aman, maksudnya nggak merusak
kesehatan tubuh, misal kulit atawa rambut. Aman di sini juga berarti terhindar
dari melanggar aturan syara’. Bisa juga berarti ‘aman’ dari tangan-tangan
jahil. Nah, untuk mendapatkan baju yang nyaman dan aman, ada beberapa hal yang
kudu kamu perhatiin:
1. Bahan.
Untuk pakaian rumah (tsiyab) kudu yang bersifat menyerap keringat. Bahan kaus,
batik atau katun adalah pilihan tepat. Yup, kayak bahan buat baju tidur atawa
daster gitu lho! Itu pas banget kalo buat baju dalem karena adem dan tentunya
membuat nyaman. Sedangkan buat jilbab alias baju luar, bahan bisa lebih
fariatif, tapi tetep kudu membuat nyaman. Yang terpenting untuk jilbab ini
jangan memilih bahan yang terlalu tipis/transparan, sebab tentu saja tidak
sesuai dengan aturan Islam. Jilbab harus dari bahan yang tidak menampakkan
kulit atau pakaian dalam. Sebaliknya jangan pilih yang bahannya terlalu tebal,
seperti bahan celana/jeans/jaket. Bahan yang terlalu tebal, selain kurang bagus
penampilannya (kaku), juga bikin gerah. Bahan kerudung juga sama, pilih yang
adem agar kamu tidak kepanasan dan rambut tetap terjaga kesehatannya. Jangan
yang penting trendy tanpa mengindahkan fungsinya sebagai penutup kepala.
2. Model. Untuk pakaian rumah, model memang boleh macem-macem asalkan tidak memperlihatkan aurat. Namun sebaiknya hindari model yang terlalu ribet karena kurang bagus bila sudah dipadukan dengan jilbab. Misal model yang banyak renda-rendanya atau ploinya. Mendingan yang simple aja biar nggak terlalu kelihatan seperti ada ganjalan saat di atasnya dilapisi jilbab. Meski buat baju rumah sah-sah aja rada-radar ketat, tapi sebaiknya hindari karena seperti udah diulas di atas, baju ketat enggak bagus buat kesehatan kulit. Sedangkan untuk jilbab, pada prinsipnya yang penting longgar dan mengulur dari atas sampai ke dasar. Buat kamu yang badannya kurus, tambahan ploi akan membantu mempercantik penampilanmu. Sedang buat yang agak tambun, modelnya simple aja, jangan banyak ploi dan pernak-pernik semisal tali atau pita. Untuk model kerudung, pilihlah yang mampu menutup rambut sampai ke dada secara sempurna. Jangan asal ngejar trend aja, Non!
3. Corak.
Pilih corak yang tidak terlalu ramai. Buat yang kurus dan tinggi, pilih corak?
yang cenderung besar-besar, baik corak bunga-bunga maupun kotak-kotak. Hindari
corak garis-garis vertical karena akan membuat kesan kamu seperti tiang listrik
aja. Buat yang rada ndut, pilih corak sedang-sedang saja, jangan terlalu
kecil-kecil atau besar-besar. Corak abstrak juga cocok. Hindari corak
garis-garis horizontal karena akan membuat kamu tampak makin lebar ke samping.
Untuk kerudung, hindari corak terlalu ramai, apalagi yang tidak senada dengan
jilbab kamu. Ntar malah tabrakan, nggak lucu.
4. Warna.
Sekali-kali jangan memilih warna yang menyolok yang bisa menarik perhatian.
Misal warna hijau seperti rompinya pak polisi atau merah seperti warna bendera Indonesia .
Pokoknya hindari warna-warna muda yang seperti permen gitu. Sebaiknya pilih
warna pastel, warna sejuk (biru/hijau tua) atau warna-warna lembut lainnya yang
nggak menyolok.
5. Harga. Belilah busana
Muslimah sesuai anggaran. Tak perlu memakai pakaian yang serba mahal, apalagi
bila hanya untuk riya’. Bahan yang bagus, corak yang oke dan model yang caem
memang biasanya kamu dapat dari bahan-bahan yang bukan murahan. Tapi kalo kamu
pinter belanja, dengan bahan yang nggak mahal kamu pun bisa tampil cantik.
Oke?(asri) (pernah dimuat
di rubrik "studia", Majalah PERMATA, edisi Maret 2004]