Selasa, 10 September 2019

GAYA KERUDUNG DEMOKRATIS


Nggak sedikit muslimah yang ogah menutup aurat. Nggak sedikit juga yang malah ‘menjualnya’. Inikah produk demokrasi?

 Gambar terkait

Buat para akhwat yang hidup di jaman Windows 10 ini, menutup bodi dengan jilbab dan kerudung memang dilema. Mereka kudu milih antara kewajiban menutup aurat dengan gaya. Satu sisi perintah agama, di sisi lain kayaknya kok nggak gaul ya? Kewajiban udah jelas, seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali muka ama telapak tangan, pekik para ulama. So, rambut, telinga, leher, bodi plus awak, wajib diumpetin di balik khimar dan jilbab. Sementara itu, pergaulan nuntut sebaliknya. Kudu trendi, ngegaya, dan ini…harus memamerkan ‘aset-aset’ pribadi. Yang kulitnya mulus, sayang kalo diumpetin. Yang rambutnya indah terurai, kenapa juga kudu dibungkus kain kerudung, emangnya lemper.

Belum lagi macam-macam pandangan en tuntutan orang laen buat cewek berkerudung plus berjilbab kayaknya gimana gitu. Kudu pinter baca Al Qur’an, kudu jauh dari acara ngegosip, kudu jaga jarak ama kendaraan di depan eh ama cowok dalam pergaulan, en segudang kudu-kudu laennya. Tuntutan kayak begitu terang aja bikin banyak cewek jiper alias ngeri untuk berkerudung dan berjilbab.

Nggak Wajib?

Whuaaa…yang bener aja? Yup, itu setidaknya dilontarkan oleh sejumlah ‘cendekiawan’ muslim kontemporer. Jaman Orde Baru masih berkuasa, ada seorang pejabat yang bersemangat menentang kewajiban berjilbab dengan bilang, “Anak dan istri saya saja tidak berjilbab.” Hmm, berani-beraninya. Kalau sekarang jama’ah islam liberal paling getol menghujat kewajiban jilbab ini. Kata mereka, para ulama yang menafsirkan jilbab itu udah terpengaruh diskriminasi gender. Mereka mendiskriditkan kaum wanita. Pendapat mereka ini tentunya bersandarkan pada pendapat para orientalis, pemikir yang satu geng, dan juga kajian Islam secara sosiohistoris. Mereka juga keberatan seandainya jilbab itu dipaksakan atas setiap muslimah. Pokoknya, berjilbab itu harus karena kesadaran sendiri.

Ada beberapa alasan yang menurut mereka jilbab dan kerudung itu nggak wajib:

Pertama, mereka bilang kalau jilbab itu budaya Arab, bukan budaya Islam. Lagian, ajaran Islam itu kudu dicocokin ama kondisi budaya setempat. Istilahnya Islam lokal. Prinsip mereka, “Tidak diingkari perubahan hukum (syara’) dengan perubahan zaman dan tempat”. Ya, mirip-mirip burger racikan McDonald. Semua harus burger ala Amrik kan? Perlu ada rasa lokal. Maka dibikinlah McRendang, McSatay, McBangkok, malah ada juga burger tempe. Jadi ada juga “jilbab” ala Indonesia. Yang gimana tuh? Yang penting SOPAN, tidak menggoda pria, kata mereka. Seorang pemikir Islam malah menyebut jilbab itu lebih pada suruhan untuk sopan dan bersahaja (modesty) yang bisa dilakukan siapa saja.

Kedua, masih kata mereka, jilbab itu diwajibkan di jaman wanita belum dihargai. Buktinya, menurut mereka, surat Al Ahzab ayat 59 berbunyi, “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Nah, karena kata mereka sekarang ini kaum wanita sudah banyak dihargai maka berjilbab bukan kewajiban lagi.

Teman-teman, pendapat-pendapat di atas jelas punya banyak kelemahan dan ketidakberesan. Emang bener kalau budaya Arab itu nggak selamanya identik dengan budaya Islam. Contohnya, naik unta itu nggak fardlu juga nggak sunnah, walaupun seumur hidup Rasulullah naik unta. And so on pakai terompah ala Ali Baba atau Aladdin juga nggak wajib. Buat kita, yang jadi bagian hukum syara’ itu adalah apa yang diatur sama Allah di dalam dalil-dalil syara (Al Qur’an, As sunnah, Ijma shahabat dan qiyas). So, kalau dalam keempat sumber hukum Islam itu ada keterangannya, en jelas hukumnya, ya itu adalah bagian dari ajaran Islam. Bukan budaya bangsa mana-mana. Contohnya, bacaan shalat en azan itu emang harus pake bahasa Arab nggak bisa diganti ama bahasa lain, baik bahasa daerah masing-masing, apalagi coba-coba pake bahasa tubuh.

Walaupun jilbab dan kerudung itu sudah dipakai sebagian kaum wanita di Arab di jaman pra-Islam, tapi kita mengakuinya sebagai hukum syara’ karena begitulah yang dikatakan Islam. Bukan cuma buat wanita Arab. Islam juga yang ngasih batasan-batasan en ketentuan berjilbab yang khas bagi para muslimah. Simak aja firman Allah, 

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, dan anak-anakmu dan istri-istri orang beriman …”(Al Ahzab: 59). 

Jadi, perintah berjilbab dan berkerudung itu adalah atas setiap muslimah, baik dia orang Arab ataupun bukan orang Arab.

Pernyataan bahwa jilbab itu wajib karena di zaman itu perempuan nggak dihargai, korslet !!. Kagak nyambung. Karena pada zaman kekhilafahan Islam, saat kaum wanita terlindungi dan merasa aman, tetap saja mereka wajib mengenakannya. Lagian, kalau pernyataannya seperti itu, gimana dengan zaman sekarang, dimana perempuan jauh lebih nggak dihargai ketimbang di zaman jahiliyah? Liat aja kekerasan pada wanita sekarang jauh lebih meningkat ketimbang jaman Rasulullah saw. dulu. Terus, kalau dibilang pakaian cewek yang penting sopan (modesty), nah sopan versi mana dulu nih. Kalau menurut penganut ‘madzhab’ sekuler-liberalisme nich ...celana melorot ke pinggang yang mereka pake itu pasti terkategori sopan. Ber-koteka, ala jaman purba pastinya juga udah terbilang sopan. Nah, mau ikut sopan versi mana nih?

Dalam kehidupan manusia, seringkali diperlukan paksaan untuk berbuat baik. Ini nggak bisa ditolak. Bukankah manusia suka berbuat begitu pada sesamanya? Liat aja aturan 3 in 1 di Jakarta, itu kan paksaan juga? Atau bayar pajak juga paksaan, kan? Gelinya, para pengkritik jilbab ini nggak pernah kedengaran tuh mengkritik paksa-memaksa sesama manusia. Tapi Allah mereka kritik kalau maksa-maksa manusia. Jangan-jangan nanti bakal ada tanggapan, kalau mau berhenti nyopet ya harus karena kesadaran sendiri jangan karena dipaksa. ANCURRR!...

Intinya sih, kita mau bilang, kalau ukuran baik dan buruk, terpuji dan tercela, diserahkan pada akal en hawa nafsu manusia, hasilnya ANCURRRR! Nah, daripada belaga pinter padahal ber-IQ jongkok, mendingan kita nurut aja deh pada yang dikatakan Allah.

Racun Demokrasi

Usaha-usaha untuk ngancurin citra jilbab emang dahsyat bener. Udahlah secara pemikiran diancurin seperti cara-cara di atas, eh praktiknya juga diacak-acak. Seperti yang bisa kamu baca di Studia 1, nggak sedikit muslimah yang niatnya ingin menutup aurat, tapi sayang belum sempurna. So, mata para cowok belum juga bebas dari pemandangan yang tidak boleh dipandang, gara-gara nggak sedikit muslimah yang belum total nutup aurat mereka. Keliatannya, mereka juga ingin berbusana muslimah tapi juga nggak mau keilangan kesempatan untuk Te Pe (Tebar Pesona). Jadilah mereka berkerudung tapi tetap full press body.

Ini semua, berawal dari diterimanya paham demokrasi dalam kehidupan kaum muslimin. Yup, seperti yang kamu tahu dalam demokrasi emang berdagang kebebasan. Manusia-manusia demokratis bebas berbuat apa saja, asalkan nggak mengganggu kebebasan orang lain. Dalam demokrasi pula nggak ada prinsip benar dan salah yang absolut atawa mutlak. Semua serba relatif, nisbi. Ukurannya diserahkan pada keinginan pribadi dan suara mayoritas. Nah, ada empat kebebasan yang diusung demokrasi: kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku. Gara-gara prinsip kebebasan berpendapat, muncullah pendapat jilbab itu nggak wajib karena itu budaya Arab. Nah, dengan prinsip kebebasan bertingkah laku, kaum muslimah yang sudah terinfeksi paham demokrasi, ngerasa sah-sah saja tidak menutup aurat. Ini kan badan gue! Mo pake

Kata mereka. And so on, mau pake kerudung model apapun juga boleh. Nah, aspirasi kebebasan para muslimah ini ditangkap oleh para pengusaha yang kapitalis. En mereka manfaatkan nafsu liar para muslimah itu untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Bak gayung bersambut, para muslimah yang kagak kuat iman, dan tergiur kepengen ngetop dengan cepat, ngantri di pintu para pengusaha kapitalis itu. Yang kulitnya mulus beruntung bisa jadi foto model produk kosmetik atau sabun kecantikan. Yang kulitnya mirip-mirip amplas juga bisa jadi foto model…salep kulit ama sabun cuci.

Meski begitu eksploitasi atau penjajahan terhadap wanita dengan cara seperti ini nggak pernah tuh digugat. Kalaupun pernah, tapi nggak seheboh para pemikir muslim kontemporer atau para feminisme menggugat jilbab dan poligami. Karena memang prinsip mereka adalah liberalisme, kebebasan. Selama ‘pelaku’ dan ‘korban’nya merasa enjoy, ya itu sah-sah aja. Bukan eksploitasi tapi menjalankan profesi.

Solusi Total

Maka penyebab muslimah belum sadar berbusana komplit, adalah demokrasi dan sekulerisme penyebabnya. Di alam ini, para muslimah diracuni lewat berbagai jalan agar melepaskan jilbab dan kerudungnya. Lewat sinetron-sinetron bertema remaja, misalkan, para muslimah diajarkan supaya berani memamerkan bodi mereka di depan kaum cowok. 

Sementara pemikiran mereka diancurin dengan ideologi sesat sekulerisme-liberalisme. Selain muncul pemahaman kalau berjilbab itu nggak wajib, juga dikesankan jilbab-kerudung itu menghambat aktivitas, en terkesan norak dan kampungan. Agar para muslimah selamat, nggak ada jalan lain kecuali menghancurkan sekulerisme. Cuma, untuk itu para muslimah kudu menumbuhkan sendiri keyakinan akan kebenaran Islam. Bahwa apa yang dibawa oleh Islam itu benar tanpa ada keraguan. So, ngaji adalah satu-satunya jalan. Dengan serius dan penuh keikhlasan ngaji, insya Allah pikiran kita jadi bersih. Dakwah adalah langkah selanjutnya setelah mengaji. Kampanye penegakan syari’ah juga harus dibarengi dengan kampanye busana muslimah. Perlu diserukan kepada para muslimah bahwa: 

JILBAB ADALAH KEWAJIBAN BUKAN PILIHAN.

Tips Memilih Pakaian yang Nyaman dan Aman
Pakaian yang nyaman, maksudnya pakaian yang nggak bikin gerah, adem, nggak ngganggu buat beraktivitas, dan tentunya menambah pede. Aman, maksudnya nggak merusak kesehatan tubuh, misal kulit atawa rambut. Aman di sini juga berarti terhindar dari melanggar aturan syara’. Bisa juga berarti ‘aman’ dari tangan-tangan jahil. Nah, untuk mendapatkan baju yang nyaman dan aman, ada beberapa hal yang kudu kamu perhatiin:

1.       Bahan. Untuk pakaian rumah (tsiyab) kudu yang bersifat menyerap keringat. Bahan kaus, batik atau katun adalah pilihan tepat. Yup, kayak bahan buat baju tidur atawa daster gitu lho! Itu pas banget kalo buat baju dalem karena adem dan tentunya membuat nyaman. Sedangkan buat jilbab alias baju luar, bahan bisa lebih fariatif, tapi tetep kudu membuat nyaman. Yang terpenting untuk jilbab ini jangan memilih bahan yang terlalu tipis/transparan, sebab tentu saja tidak sesuai dengan aturan Islam. Jilbab harus dari bahan yang tidak menampakkan kulit atau pakaian dalam. Sebaliknya jangan pilih yang bahannya terlalu tebal, seperti bahan celana/jeans/jaket. Bahan yang terlalu tebal, selain kurang bagus penampilannya (kaku), juga bikin gerah. Bahan kerudung juga sama, pilih yang adem agar kamu tidak kepanasan dan rambut tetap terjaga kesehatannya. Jangan yang penting trendy tanpa mengindahkan fungsinya sebagai penutup kepala.

2.   Model. Untuk pakaian rumah, model memang boleh macem-macem asalkan tidak memperlihatkan aurat. Namun sebaiknya hindari model yang terlalu ribet karena kurang bagus bila sudah dipadukan dengan jilbab. Misal model yang banyak renda-rendanya atau ploinya. Mendingan yang simple aja biar nggak terlalu kelihatan seperti ada ganjalan saat di atasnya dilapisi jilbab. Meski buat baju rumah sah-sah aja rada-radar ketat, tapi sebaiknya hindari karena seperti udah diulas di atas, baju ketat enggak bagus buat kesehatan kulit. Sedangkan untuk jilbab, pada prinsipnya yang penting longgar dan mengulur dari atas sampai ke dasar. Buat kamu yang badannya kurus, tambahan ploi akan membantu mempercantik penampilanmu. Sedang buat yang agak tambun, modelnya simple aja, jangan banyak ploi dan pernak-pernik semisal tali atau pita. Untuk model kerudung, pilihlah yang mampu menutup rambut sampai ke dada secara sempurna. Jangan asal ngejar trend aja, Non!



3.     Corak. Pilih corak yang tidak terlalu ramai. Buat yang kurus dan tinggi, pilih corak? yang cenderung besar-besar, baik corak bunga-bunga maupun kotak-kotak. Hindari corak garis-garis vertical karena akan membuat kesan kamu seperti tiang listrik aja. Buat yang rada ndut, pilih corak sedang-sedang saja, jangan terlalu kecil-kecil atau besar-besar. Corak abstrak juga cocok. Hindari corak garis-garis horizontal karena akan membuat kamu tampak makin lebar ke samping. Untuk kerudung, hindari corak terlalu ramai, apalagi yang tidak senada dengan jilbab kamu. Ntar malah tabrakan, nggak lucu.

4.     Warna. Sekali-kali jangan memilih warna yang menyolok yang bisa menarik perhatian. Misal warna hijau seperti rompinya pak polisi atau merah seperti warna bendera Indonesia. Pokoknya hindari warna-warna muda yang seperti permen gitu. Sebaiknya pilih warna pastel, warna sejuk (biru/hijau tua) atau warna-warna lembut lainnya yang nggak menyolok.

5.     Harga. Belilah busana Muslimah sesuai anggaran. Tak perlu memakai pakaian yang serba mahal, apalagi bila hanya untuk riya’. Bahan yang bagus, corak yang oke dan model yang caem memang biasanya kamu dapat dari bahan-bahan yang bukan murahan. Tapi kalo kamu pinter belanja, dengan bahan yang nggak mahal kamu pun bisa tampil cantik. Oke?(asri) (pernah dimuat di rubrik "studia", Majalah PERMATA, edisi Maret 2004]

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan komentar dengan baik dan bijaksana
Dilarang membuat spam di blog ini
Mohon maaf bila ada komentar yang belum dijawab/dibalas