Jumat, 30 Agustus 2019

BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG ADAT ISTIADAT

By: KH Hafidz Abdurrahman


   Hasil gambar untuk adat istiadat

Adat istiadat adalah produk pemikiran. Hanya saja, tidak dalam bentuk materi, tetapi nonmateri. Karena itu adat istiadat adalah sebagian dari peradaban (hadhârah), bukan produk materi (madaniyyah).

Sebagai produk pemikiran, adat istiadat lahir atau terpancar dari akidah tertentu. Karena itu, ketika adat istiadat itu tidak bertentangan, atau sesuai dengan syariah Islam, tidak boleh serta merta didakwa sebagai sebagian dari Islam. Sebab, adat istiadat tersebut lahir atau terpancar dari akidah lain. Bukan dari akidah Islam.

Memang ada sebagian fuqaha’ menjadikan adat-istiadat (al-‘âdat) dan konvensi (al-‘urf) sebagai dalil. Alasannya, karena Allah SWT memerintahkan:

خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (TQS. al-A’raf [7]: 199).

Frasa, “wa’mur bi al-urf” (suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) ini mereka gunakan sebagai justifikasi. Mereka menjustifikasi konotasi ini dengan beberapa masalah fikih, yang mereka dakwa, ditetapkan berdasarkan penggunaan konvensi (‘urf). Bahkan, mereka juga mendakwa bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah mengakui sejumlah konvensi dan adat istiadat. Karena itu, bagi mereka adat istiadat dan konvensi itu merupakan dalil syariah.

Mengenai TQS al-A’raf ayat 119 di atas, yang mereka gunakan untuk menjustifikasi adat istiadat sebagai dalil, jelas keliru.

Alasannya: Pertama, ayat yang mereka dakwa sebagai dalil syariah ini sebenarnya tidak ada relevannya dengan adat istiadat atau konvensi. Ayat ini merupakan ayat Makkiyah. Diturunkan sebelum Nabi saw. hijrah ke Madinah.

Makna ayat ini adalah, “Ambillah perbuatan, akhlak masyarakat, dan apa saja yang datang dari mereka, yang dibenarkan untukmu (Muhammad). Kamu pun mudah (berinteraksi) dengan mereka, tanpa beban. Kamu tidak meminta jerih payah dari mereka, dan apa saja yang boleh memberatkan mereka, sehingga mereka lari.”

Mengenai perintah, “wa’mur bi al-‘urfi” maknanya adalah perintahkanlah perbuatan baik. ‘Urf di sini konotasinya adalah al-ma’rûf (perbuatan yang terpuji). Adapun dakwaan bahwa Nabi saw. telah mengakui adat-istiadat, atau konvensi, maka ini juga tidak boleh dijadikan dalil untuk menjadikan adat-istiadat atau konvensi sebagai dalil. Yang perlu dijadikan sebagai dalil adalah pengakuan Nabi saw. itu sendiri. Dengan kata lain, dalilnya bukan adat istiadat atau konvensi, tetapi hadis Nabi saw.

Kedua, konvensi (‘urf) adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus. Jika dilakukan oleh individu disebut adat istiadat (al-‘âdat). Jika dilakukan oleh komunitas atau kelompok disebut konvensi [al-‘urf]. Semua perbuatan ini perlu dilaksanakan berdasarkan syariah Islam. Ini karena setiap Muslim wajib melaksanakan perbuatannya mengikuti perintah dan larangan Allah SWT. Syariahlah yang mesti dijadikan patokan adat istiadat atau konvensi. Bukan sebaliknya. Adat-istiadat atau konvensi tidak boleh dijadikan baik sebagai dalil maupun kaidah syariah.

Ketiga, kadangkala adat-istiadat atau konvensi tersebut menyalahi syariah, kadangkala tidak. Jika adat-istiadat atau konvensi menyalahi syariah, maka syariah datang untuk membersihkan atau mengubahnya.

Hal ini karena di antara tugas syariah adalah mengubah adat istiadat atau konvensi yang rusak, bukan memeliharanya. Jika adat-istiadat atau konvensi tersebut tidak menyalahi syariah, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil dan ‘illat syariah, bukan berdasarkan adat istiadat atau konvensi tersebut. Syariahlah yang menjadi dasar kepada adat istiadat atau konvensi. Bukan sebaliknya.

Keempat, adat istiadat atau konvensi tidak memiliki akar [ushûl], baik dalam Alquran, Sunah, maupun Ijmak Sahabat. Karena itu adat istiadat atau konvensi tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai dalil syariah. Ini karena, apapun tidak diakui sebagai dalil syariah, kecuali dinyatakan oleh Alquran dan Sunah.

Kelima, adat istiadat atau konvensi itu ada yang baik (hasan), dan ada yang tidak (qabîh). Adat istiadat atau konvensi yang tidak baik, pasti tidak diakui. Lalu apa yang membedakan antara adat istiadat atau konvensi yang hasan dan qabîh? Akal atau syariah?

Jika akal yang digunakan untuk membedakan hasan dan qabîh, maka pasti tidak mampu, karena tidak boleh menjangkau apa yang ada di balik hasan dan qabîh tersebut, yaitu pujian dan celaan (al-madh wa ad-dzam) atau pahala dan dosa (ats-tsawâb wa al-‘iqâb). Jika akal tetap dipaksakan untuk memutuskan, maka hasilnya akan mematikan dan kacau. Karena itu keputusannya mesti diserahkan pada syariah, bukan pada akal.

Keenam, mengenai konvensi yang menjadi istilah (al-ishthilâh) dan patokan (at-taqdîr) dalam masyarakat, maka istilah adalah penggunaan nama-nama untuk objek tertentu, baik yang kemudian dikenal dengan makna hakiki menurut bahasa (haqîqah lughawiyyah), konvensi (haqîqah ‘urfiyyah), atau makna hakiki menurut syariah (haqîqah syar’iyyah), semuanya ini merupakan istilah. Sebagai contoh, penggunaan kata fi’il, fâ’il, maf’ûl di kalangan ulama nahwu adalah istilah. Kata salat, shaum, zakat, haji, dan jihad adalah juga istilah yang digunakan syariah.

Adapun patokan (taqdîr) yang digunakan di tengah masyarakat, maka yang diakui adalah apa yang dinyatakan oleh nas. Yang tidak dinyatakan oleh nas tidak diakui. Selain itu, istilah dan patokan ini bukan merupakan adat-istiadat dan konvensi, sebagaimana yang mereka maksud.

Ketujuh, mengenai sejumlah hukum yang didakwa menggunakan adat istiadat atau konvensi sebagai dalilnya, maka ada dua kemungkinan:

Pertama, hukumnya benar, tetapi salah dalam penggunaan dalilnya.

Misalnya, teman yang bertamu di rumah temannya, dia dibolehkan makan makanan temannya. Dalilnya bukan adat istiadat atau konvensi, melainkan TQS an-Nur [24]: 41. Makan buah yang jatuh dari pohon dibolehkan, bukan karena adat istiadat atau konvensi, melainkan kerana Hadis Nabi saw. yang membolehkan memakannya. Diamnya anak gadis yang menandakan persetujuannya untuk dinikahkan dengan lelaki juga bukan karena adat istiadat atau konvensi, melainkan karena Hadis Nabi saw.

Kedua, hukum dan dalilnya salah.

Misalnya, ketika seorang istri yang sudah ditiduri suaminya, lalu dia mendakwa suaminya belum membayar sedikit pun maharnya, kemudian dia menuntut agar seluruh maharnya dibayarkan, maka dakwaan seperti ini tidak boleh diikuti. Sebaliknya, hakim wajib menolaknya, jika adat istiadat atau konvensi penduduk dalam pernikahan, biasanya tidak dinikahkan kecuali dengan dibayarkan maharnya.

Dengan begitu, adat istiadat atau konvensi tersebut boleh dijadikan dalil hukum syariah. Dalam konteks ini, kesalahannya ada pada hukum dan dalilnya, karena hak (mahar) tidak boleh digugurkan dengan menggunakan perbahasan adat-istiadat atau konvensi.

Semestinya, dakwaan istri terhadap suaminya tadi wajib didengarkan, jika memang terbukti belum dibayar, maka perlu dihukum sebagaimana haknya, tanpa melihat adat-istiadat atau konvensi.

Semua ini membuktikan bahwa adat-istiadat atau konvensi itu tidak boleh dijadikan dalil hukum syariah. Adat-istiadat atau konvensi juga tidak layak dijadikan sebagai kaidah syariah. Kerana kaidah syariah adalah hukum kulli (menyeluruh), atau hukum ‘âm (umum).

Adapun adat-istiadat atau konvensi bukan merupakan hukum kulli, juga bukan hukum ‘âm kerana tidak memiliki sebahagian (juz’iyyât) dan rincian (afrâd).

Mengenai adat istiadat atau konvensi penduduk Madinah, yang dijadikan dalil oleh Imam Malik, maka ditegaskan oleh Dr. Said Ramadhan al-Buthi, dalam kitabnya, Dhawâbith al-Mashlahah, bahawa adat-istiadat atau konvensi penduduk Madinah yang boleh dijadikan sebagai dalil, disyaratkan tidak menyalahi hukum syariah.

Meski demikian, penulis berpendapat, kalau pun adat istiadat atau konvensi penduduk Madinah dijadikan dalil, sebenarnya bukan karena adat istiadat atau konvensi itu sendiri, tetapi karena dalil yang menjadi dasar adat istiadat atau konvensi tersebut. Dengan anggapan, Nabi saw. hidup bersama para sahabat di Madinah selama 10 tahun. Baginda melihat, mendengar, mengakui apa yang mereka lakukan di depan beliau. WalLâhu a’lam. [MN]

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan komentar dengan baik dan bijaksana
Dilarang membuat spam di blog ini
Mohon maaf bila ada komentar yang belum dijawab/dibalas