Selasa, 27 Agustus 2019

HUKUM MEMBONCENG NON MAHRAM

By: Ustadz Muhammad Rivaldy Abdullah

  Hasil gambar untuk membonceng bukan mahram

Jika statusnya adalah mahram(misalnya adik kandung perempuan), tentu sudah jelas kebolehannya untuk dibonceng. Yang diperselisihkan para ulama ialah jika yang dibonceng adalah non-mahram. Dan sepupu(anak paman dari ayah) termasuk kategori non mahram.

Permasalahan hukum membonceng(irdaaf) non-mahram ini, dibahas dalam kitab-kitab syarh hadits.

Hadits yang terkait, diantaranya adalah hadits riwayat dari Asma binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhuma. Beliau menceritakan :

تَزَوَّجَنِي الزُّبَيْرُ … وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم عَلَى رَأْسِي وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ فَرْسَخٍ فَجِئْتُ يَوْمًا وَالنَّوَى عَلَى رَأْسِي فَلَقِيتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم وَمَعَهُ نَفَرٌ مِنْ الأَنْصَارِ فَدَعَانِي ثُمَّ قَالَ إِخْ إِخْ لِيَحْمِلَنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسِيرَ مَعَ الرِّجَالِ وَذَكَرْتُ الزُّبَيْرَ

"Aku telah dinikahi oleh Zubair… (tatkala itu) Aku sedang mengangkut biji-biji kurma dari tanah Zubair yang telah diberi oleh Rasulullah saw. di atas kepalaku. Tanah tersebut jaraknya dariku sekitar 2/3 Farsakh. Suatu ketika aku datang, sementara biji-biji kurma tersebut ada di atas kepalaku, lalu aku pun menemui Rasulullah saw. Ketika itu Baginda bersama sejumlah kaum Anshar. Baginda pun memanggilku. Lalu Baginda berkata, ‘Ikh..ikh…(terhadap untanya),’ agar Baginda bisa memboncengku di belakangnya. Namun, aku merasa malu untuk berjalan bersama-sama kaum pria. Aku pun menceritakannya kepada Zubair.” (HR. Bukhari No. 4849, Muslim No. 2182)

Dalam menjelaskan hadits ini, para ulama memiliki pandangan yang beragam. Pandangan-pandangan itu antara lain :

(1). Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam membonceng Asma, yang notabene adalah mahramnya. Asma adalah saudari ‘Aisyah, dan ‘Aisyah merupakan isteri Nabi. Atau juga bisa dikatakan, peristiwa ini terjadi sebelum syari’at hijab turun. Pandangan ini dikemukakan salah satunya oleh Badruddin Al ‘Aini, dalam kitabnya ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari(20/208).

Karena itu, berboncengan pria dan wanita bukan mahram dalam kendaraan hukumnya haram. Baik dekat maupun jauh. Baik ada mahram ataupun apalagi tidak ada mahram.

(2). Sebagiannya lagi memahami, bahwa perbuatan tersebut(membonceng non mahram) adalah kekhususan bagi Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam. Syaikh Al Bujairomiy mengatakan :

أَمَّا هُوَ فَقَدْ اُخْتُصَّ بِإِبَاحَةِ النَّظَرِ إلَى الْأَجْنَبِيَّاتِ وَالْخَلْوَةِ بِهِنَّ وَإِرْدَافِهِنَّ عَلَى الدَّابَّةِ خَلْفَهُ ؛ لِأَنَّهُ مَأْمُونٌ لِعِصْمَتِهِ

“Adapun beliau (Nabi) sallallahu alaihi wa sallam, maka telah diberi kekhususan dengan dibolehkan melihat wanita asing, berduaan dan membonceng di belakang kendaraan. Karena beliau aman dan terlindung (dari melakukan dosa)” (Hasyiyah Al Bujairomiy, 3/372)

Pendapat ini juga menyimpulkan bahwa berboncengan pria dan wanita bukan mahram adalah terlarang(karena kebolehannya hanya khusus Nabi saja). Baik dekat maupun jauh. Baik ada mahram ataupun apalagi tidak ada mahram. Namun pendapat ini mengandung kecacatan.

(3). Adapun pendapat yang lain –dan ini pendapat yang paling kuat- memahami bahwa hadits ini bukan kekhususan bagi Nabi, dan Asma bukan termasuk mahram Nabi. Akhirnya memberikan kesimpulan, bolehnya membonceng non-mahram di atas kendaraan(dalam kasus hadits ini), dimana kebolehannya dengan menyertai beberapa syarat. Syarat – syarat itu antara lain :

a) Adanya pemisah(fashil) antara pria dan wanita dalam kendaraan tersebut. Mereka tidak duduk berhimpitan dan tidak saling bersentuhan satu sama lain. Faktanya, Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam di dalam hadits tersebut tengah menunggangi unta, yang mana kita tahu unta memiliki punuk. Otomatis posisi orang yang dibonceng akan terpisah dengan yang membonceng karena adanya punuk.

. Asma mengatakan, “ma’ahu nafarun min al anshar”. Kalimat ini menjadi petunjuk bahwa Nabi pada saat itu bersama sejumlah sahabat
Sehingga, kondisi mereka pada saat itu tidak berduaan. Dalam kondisi hari ini, jika berkendara dengan motor dan ingin membonceng maka mesti berkendara dengan yang lain.

c) Tidak adanya fitnah, dan masing masing tetap terjaga auratnya. Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam saat itu telah berusia lanjut, begitu pula Asma. Dan kedua duanya memiliki hati yang terjaga. Fakta ini berbeda jika yang berboncengan adalah pria dan wanita yang sama sama masih muda. Sekalipun ada pemisah dan tidak berduaan(rombongan konvoi misalnya), berboncengnya pria dan wanita muda di zaman ini tetap akan menimbulkan fitnah dan masalah. Apalagi bagi mereka yang belum tahu batasan-batasan syar’i untuk masalah pergaulan.

d) Jarak bepergian yang ditempuh adalah jarak dalam kota(bukan jarak safar yang kurang lebih 85 km). Dalam hadits tersebut dikatakan jarak 2/3 farsakh, dimana 1 farsakh berarti sama dengan 3 mil(5,5 km). Jarak bepergian yang dekat. Karena itu, jika jarak bepergiannya jauh, maka perempuan yang dibonceng tersebut mesti bersama mahramnya. Pria tidak boleh membonceng perempuan yang tidak disertai mahram wanita, jika bepergian jauh.

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

"Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahromnya” (Muttafaq 'alayh)

e) Kendaraan mobil dengan motor dalam kasus ini sedikit berbeda. Mobil memiliki penutup, dimana statusnya seperti sebuah tempat, yang khusus, dan bersifat pribadi(bukan tempat umum sehingga sembarang orang boleh masuk). Karena itu, hukum bagi mobil berlaku sama seperti hukum dalam rumah. Pria yang menjadi supir mestilah bagian dari kerabat si wanita. Karena, dalam hal ini kebolehan seseorang memasuki sebuah rumah milik orang lain serta beraktivitas di dalamnya(berbincang, makan, dll) dimana terdapat wanita di dalamnya, adalah jika yang masuk ke rumah tersebut adalah kerabat dan orang yang dikenal(QS. An-Nuur : 61).

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ

"Hendaknya tidak berduaan seorang pria dengan seorang wanita, kecuali bersamanya(bersama wanita tersebut) seorang mahram” (HR Muslim).

Jika jaraknya hanya jarak dalam kota(jarak pendek), pria dan wanita dapat berboncengan ditemani sejumlah pria dengan syarat orang orang itu adalah yang memang dikenal, terpercaya dan bukan pelaku maksiat. Dalam hadits Asma ini, Nabi bersama sejumlah sahabat Anshar, dimana mereka adalah orang-orang yang terjaga dan dikenal oleh Nabi.

Jadi, tidak boleh seorang pria menyupiri seorang perempuan dalam mobil, kecuali bersama perempuan itu ada suami atau mahramnya(kakak laki laki, adik laki laki, paman, dsb), jika bepergiannya adalah bepergian jauh yang membutuhkan mahram wanita.

Jika bepergiannya bukan bepergian jauh, namun kondisinya tidak ada mahram yang menemani si wanita, maka boleh ditemani wanita lain atau pria lain selain mahram; dengan syarat jumlahnya lebih dari satu orang dan mereka termasuk orang-orang yang terjaga, terpercaya, lagi kenalan bagi si sopir/ si wanita. Dan hadits Asma ini menunjukkan hukum demikian. Namun, tentu saja kondisi seperti ini sebaiknya dihindari.

f) Adanya hajat syar’i atau bahkan kebutuhan yang memang mendesak.
Sebagian Ulama menambahkan syarat ini, sebab hukum asalnya pria dan wanita tidak berboncengan satu sama lain. Pria dan wanita terpisah.

Mengenai hadits ini, Al Hafidz An Nawawi berpendapat :

“Hadits ini menunjukkan bolehnya berboncengan (antara pria dan wanita bukan mahram) pada satu kendaraan apabila wanita itu seorang yang taat agamanya. Dalam pembahasan hadits ini ada banyak pendapat ulama yang berbeda,antara lain adanya sifat belas kasih Nabi pada umat Islam baik pria dan wanita serta berusaha membantu sebisa mungkin. Pendapat lain menyatakan bolehnya membonceng wanita yang bukan mahram apabila dia ditemukan di tengah jalan dalam keadaan kelelahan(kondisi berat, sebagaimana Asma yang saat itu memanggul makanan). Apalagi jika bersama sejumlah golongan pria yang shalih. Dalam konteks ini maka tidak diragukan kebolehannya. Menurut Qadhi Iyadh bolehnya ini khusus untuk Nabi saja, tidak yang lain. (Karena) Nabi telah menyuruh kita agar pria dan wanita saling menjauhkan diri. Dan biasanya Nabi menjauhi para wanita dengan tujuan supaya dikuti umatnya. Kasus ini adalah kasus khusus karena Asma adalah putri Abu Bakar, saudari Aisyah alias ipar dan istri dari Zubair. Maka, seakan Asma itu seperti salah satu keluarganya… Adapun pria membonceng wanita mahram maka hukumnya boleh secara mutlak dalam segala kondisi." (Syarh Shahih Muslim, 14/166)

💐 Ayo Share..

https://telegram.me/ngajifiqh

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan komentar dengan baik dan bijaksana
Dilarang membuat spam di blog ini
Mohon maaf bila ada komentar yang belum dijawab/dibalas