By: Ustadz Muhammad Rivaldy
Kita bisa temukan di akhir zaman ini sebagian individu muslim mengambil anjing sebagai hewan peliharaan di rumah. Mereka lupa, atau mungkin tidak tahu, bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Siapa saja yang memelihara anjing, bukan anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga gembalaan, maka berkurang dari pahala amalnya setiap hari sebesar dua qirath/bukit uhud.” (HR. Muslim No. 1574)
Ini adalah peringatan dari Rasulullah, agar seorang muslim tidak memelihara anjing. Di hadits lain disebutkan bahwa malaikat tidak akan masuk rumah, yang di dalam nya terdapat anjing. (HR. Al-Bukhari No. 3225)
Orang-orang kafir memiliki fikrah dan tsaqafah [pemikiran dan budaya] tersendiri berkenaan masalah ini. Mereka memiliki pandangan bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia, anjing adalah hewan yang cocok dijadikan peliharaan di rumah, anjing adalah hewan yang menyenangkan, dsb.
Fikrah [pemikiran] dan tsaqafah [gaya hidup] ini celaka nya juga di promosikan di tengah masyarakat muslim, khususnya melalui media. Lihat, bagaimana mereka membuat film-film yang menunjukkan seolah-olah anjing adalah sahabat yang baik. Sampai-sampai, ditayangkan kebahagiaan seseorang yang muka nya di jilati dan dipenuhi air liur anjing. Menjijikan.
Lambat-laun sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan pemikiran dan gaya hidup orang-orang kafir ini, hingga mereka tak segan memelihara anjing di rumah-rumah mereka, menentang apa yang digariskan oleh Nabi mereka. Dan sampai-sampai mereka ingin memiliki sahabat karib berupa anjing, padahal Rasulullah bersabda:
لَوْلاَ أَنَّ الكِلَابَ أُمَّةٌ مِنَ الأُمَمِ لَأَمَرْتُ بِقَتْلِهَا، فَاقْتُلُوا مِنْهَا الأَسْوَدَ البَهِيْمَ
“Kalau lah bukan karena anjing termasuk makhluk bernyawa seperti makhluk bernyawa lainnya, niscaya akan kuperintahkan untuk dibunuh. Maka, bunuhlah dari mereka yang hitam legam.” (HR. Abu Dawud No. 2845)
Al-Hafidz Ibn Abdil Hadi membuat kesimpulan bahwa anjing yang boleh dibunuh di antaranya : - al kalbu al kalib [anjing rabies], - al kalbu al 'uqur [anjing galak yang suka menggigit], - al aswad al bahim [anjing hitam legam], - dan anjing yang memberi bahaya serta keburukan bagi manusia. (Al-Ighrab fi Ahkam Al-Kilab, hal. 117)
Inilah bagian dari ghazwul fikri wa ats-tsaqafi [perang pemikiran dan budaya] yang mesti disadari. Mereka yang menganggap anjing sahabat manusia hendaknya membuat survei : Berapa di antara kita yang pernah diselamatkan anjing, dan berapa di antara kita yang pernah digonggongi dan dikejar anjing?
Kami yakin, lebih banyak mereka yang digonggongi dan dikejar anjing ketimbang ditolong. Bahkan tidak sedikit di antara kita, menjadi korban gigitan anjing. Dari itu saja sudah dapat dibuktikan bahwa anjing bukan sahabat manusia. Seringnya malah membuat kegaduhan dengan gonggongan mereka yang tak mengenal waktu. Seringnya membuat manusia was-was, karena buas dan liarnya mereka. Bagaimana mungkin kita pelihara hewan itu dirumah? Apa kita hendak mengusir teman-teman dan tamu kita, agar tidak mengunjungi rumah?
Sesungguhnya kenajisan anjing dinyatakan dalam hadits berikut.
((طَهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ))
“Sucinya bejana salah seorang diantara kalian -jika anjing menjilatnya- yakni dengan cara dia mencuci bejana nya sebanyak tujuh kali cucian, diawali dengan tanah”. (HR. Muslim [3/183])
Ucapan Rasulullaah : “Sucinya bejana kalian...” menunjukkan bahwa bejana tersebut dalam keadaan najis [bekas jilatan anjing]. Seandainya tidak najis, maka tidak akan dikatakan demikian karena hukum asal sesuatu itu tetap pada asalnya, jika tidak ada faktor lain yang mengubah keadaannya [ibqaa maa kaana 'alaa maa kaana]. Jilatan anjing tersebut mengubah status bejana dari asalnya suci, menjadi bernajis.
Di hadits lain disebutkan perintah untuk membuang air dalam wadah bekas jilatan anjing.
إِذَا وَلَغَ الكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
“Jika anjing menjilat wadah berisi air milik salah seorang di antara kalian, maka buanglah air tersebut dan cucilah wadah tersebut sebanyak tujuh kali”. (HR. Muslim No. 279)
Al-Imam An-Nawawi berkata :
فَفِيْهِ دَلَالَةٌ ظَاهِرَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيْ وَغَيْرِهِ رَضِيَ الله عَنْهُ مِمَّنْ يَقُوْلُ بِنَجَاسَةِ الكَلْبِ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تَكُوْنُ عَنْ حَدَثٍ أَوْ نَجَسٍ وَلَيْسَ هُنَا حَدَثٌ فَتَعَيَّنَ النَّجَسُ فَإِنْ قِيْلَ المُرَادُ الطَّهَارَةُ اللُّغَوِيَّةُ فَالجَوَابُ أَنَّ حَمْلَ اللَّفْظِ عَلَى حَقِيقَتِهِ الشَّرْعِيَّةِ مُقَدَّمٌ عَلَى اللُّغَوِيَّةِ وَفِيْهِ أَيْضًا نَجَاسَةُ مَا وَلَغَ فِيْهِ وَأَنَّهُ إِنْ كَانَ طَعَامًا مَائِعًا حَرُمَ أَكْلُهُ لِأَنَّ إِرَاقَتَهُ إِضَاعَةٌ لَهُ فَلَوْ كَانَ طَاهِرًا لَمْ يَأْمُرْنَا بِإِرَاقَتِهِ بَلْ قَدْ نُهِيْنَا عَنْ إِضَاعَةِ المَالِ وَهَذَا مَذْهَبُنَا
“Dan di dalamnya [hadits tentang penyucian bejana yang dijilat anjing] terdapat dalalah/petunjuk yang terang bagi madzhab Syafi'I dan selainnya radhiyallaahu 'anhu, y
ang berpandangan bahwa anjing itu najis.
Sebab, kesucian itu bisa diraih dengan menghilangkan hadats atau najis. Dan tidak ada dalam hadits tersebut tentang hadats. Maka, [kesucian] yang dimaksud adalah dari najis. Jika dikatakan bahwa kesucian itu maknanya adalah kesucian secara bahasa [sebatas bersih karena dianggap jilatan anjing itu kotor, bukan najis], maka jawabannya : bahwa membawa makna lafadz yang sesuai dengan maksud syara' nya lebih di dahulukan ketimbang membawa makna lafadz pada sisi bahasa.
Di dalam hadits tersebut juga terdapat petunjuk bahwa apa yang dijilatnya menjadi najis. Seandainya yang dijilat anjing berupa makanan encer, maka makanan tersebut haram untuk di makan. Kemudian [kita tahu] bahwa tindakan membuang makanan encer tersebut adalah bagian dari menyia-nyiakan nikmat, karena itu seandainya makanan tersebut suci, tidak akan diperintahkan untuk dibuang, sebab Rasulullah melarang menyia-nyiakan harta/nikmat. Inilah pendapat kami/madzhab Syafi'I”. (Syarh Shahih Muslim, 3/184)
Najis anjing termasuk ke dalam najis berat [najaasah mughalladzah], sama seperti babi. (Al-Mu'tamad fi Al-Fiqh As-Syafi'I, 1/46)
Pendapat kenajisan anjing juga merupakan pendapat madzhab Hanbali.
فصل : ولا يختلف المذهب، في نجاسة الكلب والخنزير، وما تولد منهما
“Pasal : Dan pendapat madzhab tidak ada perselisihan, tentang kenajisan anjing dan babi, serta peranakan dari keduanya”. (Al-Kafi fi Fiqh Al-Imam Ahmad, 1/159)
Kemudian pertanyaannya, apakah seluruh badan anjing najis?
Ada beberapa pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa kenajisan anjing hanya pada air liurnya dan segala hal menyangkut cairan tubuhnya [keringat, dsb] jika anjing tersebut masih hidup, dan jika dalam keadaan mati maka seluruh tubuhnya najis.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa anjing menjadi najis jika telah mati. Adapun jika hidup, maka tidak najis termasuk air liurnya. Tapi tetap dibasuh apa-apa yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali meski tidak wajib tujuh kali dan tidak perlu pakai tanah.
Sedangkan madzhab Hanbali dan Syafi'I, berpandangan bahwa anjing merupakan najis secara 'ain [dzat nya], termasuk bulu-bulu nya. Baik keadaan hidup atau mati. (Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, 1/13-14; Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 35/129-130)
Guru-guru kami mengatakan bahwa mulut anjing adalah bagian terbersih dari anjing. Oleh karena itu badan dan bulu anjing lebih-lebih lagi kenajisannya [Qiyas Awlawi].
Dan kita tahu bahwa air liur berasal dari mulut dan dalam perut. Dan bagian dalam perut adalah asal dari daging, darah, kulit, dsb. Otomatis cabang dari benda najis 'ain adalah najis juga. Cara membersihkan najis anjing pun terdapat ikhtilaf. Semuanya bermuara pada riwayat-riwayat hadits berkenaan dengan masalah tersebut yang memiliki beragam redaksi.
Al-Imam As-Syaukani memberi rincian :
“Hadits Nabi [pertama-tama dibersihkan dengan tanah/debu] menurut lafadz hadits Tirmidzi dan Al-Bazzar dengan redaksi “pertama-tama atau yang terakhir dengan tanah”, sedangkan lafadz hadits riwayat Imam Abu Dawud “yang ketujuh dengan tanah”, dan di dalam riwayat shahih dari Syafi'I “pertama-tama atau terakhir dengan tanah”. Begitu pula redaksi tersebut menurut riwayat Abu Ubaid Al-Qasim Ibn Salam di dalam kitab At-Tahuur.
Kemudian teks hadits [Jika anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian maka ia dibasuh dengan tujuh kali basuhan, yang pertama atau salah satunya dengan tanah]. Dalam riwayat Ad-Daraquthni, “salah satu nya dengan tanah” dan sanadnya dha'if. Di dalam nya ada perawi bernama Al-Jarud Ibn Yazid, dan ia berstatus matruk. Sedangkan di dalam riwayat Abdullah Ibn Mughaffal yang terdapat di hadits Bab ini tersebut : “lumurilah yang ke delapan dengan tanah”. Dan riwayat ini lebih shahih ketimbang riwayat yang menyebut “salah satunya dengan tanah”. (Nailul Authar, 1/55)
Walhasil, banyak riwayat menyebut tujuh kali, dengan diawali/diakhiri/salah satunya dengan tanah. Ada juga riwayat yang menyebut, “yang kedelapan kali dengan tanah”.
Kemudian madzhab Syafi'I membuat kompromi dengan berbagai riwayat, dan menyimpulkan bahwa penyucian daripada najis anjing di lakukan dengan tujuh kali basuhan, dan salah satu basuhan dicampur dengan tanah. Itu berarti mengakomodir pendapat yang mengatakan basuhan sebanyak tujuh kali basuhan, ditambah dengan tanah di ke delapan kali. Madzhab Syafi'I berpendapat tanah dicampur dengan air. Tidak terpisah.
Ibarot kitabnya :
مَسْأَلَةٌ: فَإِنْ وَلَغَ فِي الإِنَاءِ كَلْبٌ أَيَّ إنَاءٍ كَانَ وَأَيَّ كَلْبٍ كَانَ كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ غَيْرَهُ, صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا فَالْفَرْضُ إهْرَاقُ مَا فِي ذَلِكَ الإِنَاءِ كَائِنًا مَا كَانَ ثُمَّ يُغْسَلُ بِالْمَاءِ سَبْعَ مَرَّاتٍ, وَلاَ بُدَّ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ مَعَ الْمَاءِ, وَلاَ بُدَّ, وَذَلِكَ الْمَاءُ الَّذِي يُطَهَّرُ بِهِ الإِنَاءُ طَاهِرٌ حَلاَلٌ
“Masalah: jika seekor anjing–anjing mana pun baik anjing pemburu maupun yang lain, baik besar maupun kecil–menjilat di dalam sebuah bejana jenis apa pun, maka wajib membuang seluruh isi bejana tersebut, lalu membasuhnya sebanyak tujuh kali. Dan tidak boleh tidak, diawali dengan debu bersama air. Tidak boleh tidak bahwa air yang dipakai untuk membasuh adalah air yang suci dan halal”. (Jalaluddin Al-Mahalli, Kanzur Raghibin fi Minhajit Thalibin, 1/109)
Tujuh kali basuhan dengan salah satu nya dicampur tanah/debu. Ada sebagian mengatakan bahwa boleh dengan sabun, sebagai pengganti debu/tanah.
وهل يقوم الصابون والأشنان مقام التراب؟ فيه أقوال:
أحدها : نعم كما يقوم غير الحجر مقامه في الإستنجاء، وكما يقوم غير الشب والقرظ في الدباغ مقامه، وهذا ما صححه النووي في كتابه رؤوس المسائل. والأظهر في الرافعي والروضة وشرح المهذب : أنه لا يقوم، لأنها طهارة متعلقة بالتراب فلا يقوم غيره مقامه كالتيمم.
والقول الثاني : إن وجد التراب لم يقم، وإلا قام. وقيل : يقوم فيما يفسده التراب كالثياب دون الأواني. وشرط التراب أن يكون طاهرا فلا يكفي النجس على الراجح كالتيمم.
“Apakah sabun dan kayu penghilang kotoran itu bisa menduduki posisi tanah/debu? Di sini terdapat beberapa pendapat.
Salah satu nya : Ya, bisa sebagaimana selain batu bisa digunakan untuk cebok/istinja. Dan sebagaimana tawas dan daun penghilang kotoran bisa digantikan yang lain di dalam penyamakan/dibagh. Dan ini adalah pendapat yang dibenarkan oleh An-Nawawi di dalam kitabnya Ru-us Al-Masa'il.
Dan yang adzhar [nampak penisbatannya] bagi pendapat Ar-Rafi'i dan di dalam Ar-Raudhah serta Syarh Al-Muhadzdzab : Hal tersebut tidak dapat menggantikan tanah/debu. Sebab penyucian najis itu terkait langsung dengan tanah [sesuai lafadz hadits], maka tidak bisa digantikan yang lain sebagaimana kedudukan tanah dalam tayammum yang tidak bisa diganti.
Pendapat kedua : selama masih ada tanah tidak bisa digantikan apa pun. Namun apabila tidak ada tanah, boleh. Dikatakan : selain tanah boleh digunakan asalkan seumpama memakai tanah bisa merusak objek seperti pakaian. Berbeda dengan bejana [maka tanah tidak bisa digantikan sama sekali]. Dan syarat bagi tanah yang digunakan adalah suci, maka tidak memenuhi syarat jika tanah tersebut najis menurut pendapat terkuat, sebagaimana tayammum”. (Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, hal. 75. Fashl fi Bayan An-Najasat wa Izalatiha)
Pendapat mu'tamad dalam madzhab Syafi'I [terbukti dengan lafadz “adzhar” bagi pendapat Rafi'I dan Nawawi] dan yang terkuat adalah tetap menggunakan tanah/debu. Tidak boleh menggunakan sabun, kecuali jika memang kondisi nya darurat yang tidak memungkinkan untuk menggunakan tanah/debu.
Para ulama mengatakan bahwa perintah untuk mencuci bekas jilatan anjing dengan tujuh kali dan salah satunya dicampur tanah, merupakan taghlidz [pemberat] dari syari'at agar ummat Islam tidak dekat-dekat dengan anjing. Kebutuhan akan anjing sama sekali tidak mendesak, kecuali untuk zaman sekarang dijadikan alat mengendus dan mencium benda-benda yang menjadi objek pencarian aparat keamanan. Tidak layak ada di dalam rumah muslim hewan peliharaan anjing. Wallaahul musta'an.