Diantara sarana efektif dalam perang ini adalah lewat jalur pendidikan. Lewat jalur pendidikan di era sekuler saat ini, dibeberapa institusi. Pemikiran generasi Muslim di “set” untuk mengikuti peradaban yang jauh dari nilai-nilai Islam. Kebangkitan Islam yang hakiki adalah hal yang amat dibenci oleh kaum Sekuler-Kapitalis. Dalam hal sejarah, khususnya yang terkait dengan sejarah keemasan peradaban Islam, mereka rubah dan pelintir sedemikian rupa daripada yang sebenarnya. Mereka populerkan sejarah peradaban kufur Barat yang dikemas menarik, padahal penuh dengan racun kehidupan. Semua itu tentu dengan tujuan agar generasi Muslim yang ada tidak mampu berbuat banyak untuk meraih kejayaannya kembali. Bahkan yang ironi, malah ada yang malu untuk mengakui ke Islamannya, malu berperilaku Islami, malu bahkan takut untuk menjadi pejuang-pejuang Islam.
Sudah saatnya Umat Islam khususnya generasi muda Muslim yang sadar untuk menyambut perang pemikiran ini. Bagaimanapun kita tidak ingin melihat yang lebih buruk akan terjadi secara komprehensif. Allah SWT menjamin bahwa Islam akan tetap eksis hingga akhir zaman. Tapi Allah tidak menjamin –kalau umat acuh dalam membela Islam- bahwa Islam akan tetap eksis di kota kita, kampung kita, bahkan keluarga kita. Sudah saatnya pula kita untuk mengetahui dengan sesungguhnya sejarah kegemilangan Islam, yang akan mampu berkontribusi dalam menambah “ruh” dan semangat ber Islam serta juga mampu berdiri penuh kebanggaan dalam memperjuangkan Islam tegak kembali untuk memimpin dunia.
Berikut dipaparkan adalah Jejak Syariah dan Khilafah di indonesia, Insyaallah menyusul Perang Salib, Runtuhnya Khilafah Islamiyah 1924M, bahkan Isra Miraj dll secara berseri, diambil dari sumber yang khusus dan valid. Dalam paparan berikut, walaupun tidak menjelaskan secara detail karena penulisannya dalam bentuk nasyroh atau bulletin. Tapi mencakup segala sisi detailitas sejarah yang ada. Bismillahirrahmanir rahiim...
Islam masuk di Indonesia pada abad ke 7 dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara, dan bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke 7. Menurut sumber-sumber di Cina, menjelang akhirperempatan ketiga abad ke 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukimanArab Muslim di pesisir pantai Sumatera.
Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada tahun 100H (718M). Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Islamiyah era Bani Umayah meminta dikirimkan da’i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi:
Dua tahun kemudian, yakni tahun 720M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang pada tahun 730M, Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha
PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Islam terus mengokoh menjadi kekuatan/institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya sebuah Kesultanan Islam yang bernama Kesultanan Peureulak didirikan tahun 1 Muharram 225H atau 12 November 839M. Contoh lain adalah Ksultanan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440M. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun rajanya sudah masuk Islam namun belum menerapkan Islam sebagai institusi politik. Kesultanan Ternate baru menjadi institusi politik Islam setelah Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486M. Kerajaan lainnya di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam.
Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram. Sementara di Cirebon dan Banten didirika oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara, penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima
|
Beberapa Lambang Kesultanan di Nusantara |
Islam berkembang dan menjelma menjadi institusi politik, maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini nampak dalam bidang peradilan dengan diterapkan hukum Islam sebagai hukum negara yang menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad 17. A. C Milner mengatakan bahwa Kesultanan Aceh dan Banten yang paling ketat menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Sementara Mataram tidak ketat melaksanakannya karena masih dipengaruhi oleh adat Budha dan Hindu. Demikian pula Banten, hukuman pada pencuri dengan potong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas dilakukan di Banten pada tahun 1651-1680M di masa Sultan Ageng tirtayasa. Demikian pula, Sultan Iskandar muda di Aceh menerapkan hukum rajam bagi puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Sultan berkata: “mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari.” Kerajaan Aceh Darussalam memiliki UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alauddin dan Iskandar Muda memerintahkan kewajiban shalat lima waktu dan puasa secara ketat. Hukuman dijalankan pada siapa saja yang melanggar ketentuan.
Kesultanan Demak sebagai kesultanan Islam I di Jawa sudah ada jabatan qadhi di kesultanan yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. Di Mataram, pertama kali dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh Sultan Agung. Dialah yang mengubah peradilan pradata (Hindu) menjadi peradilan Surambi karena peradilan ini bertempat di serambi Masjid Agung. Perkara kejahatan dihukumi menurut kitab Kisas (Arab: qisas). Penghulu pada masa Sultan Agung memiliki tugas sebagai mufti, yaitu penasehat hukum Islam, sebagai qadhi atau hakim, sebagai Imam masjid raya, wali hakim dan sebagai Amil Zakat.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Deuruham (Arab: dirham) adalah mata uang Aceh pertama. Beratnya 0,57gram, kadar 18 karat, diameter 1cm, dan berhuruf Arab di kedua sisinya. Selain itu, di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297-1326M).
Selain itu, di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297M-1326M) telah mengeluarkan mata uang emas, yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Secara umum di wilayah-wilayah Kesultanan di Nusantara juga berlaku sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem commenda atau kepemilikan modal (Arab: qirad, mudharabah, mugharadhah) dan masih banyak lagi yang selaras dengan tuntutan Syariah.
Dalam bidang hubungan luar negeri, T W Arnold menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir cucu dari Malikus Saleh, menyatakan perang kepada kerajaan-kerajaan tetangga yang non-Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah kepada kesultanan. Dalam bidang keluarga dan sosial kemasyarakatan, Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan bahwa Malikus Saleh melaksanakan perintah yang dianjurkan ajaran Islam seperti merayakan kelahiran anaknya dengan melakukan Aqiqah dan bersedekah kepatda fakir miskin, mengkhitankan anaknya dan melakukan tata cara penguburan mayat mulai memandikan, mengkafani, sampai menguburkannya. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah yang khusus menguraikan tentang fikih muamalah dalam bidang hukum pernikahan berdasarkan fikih Mazhab Syafi’i. Kitab ini dicetak di Turki. Uraian kitab ini dijadikan pegangan dalam pernikahan untuk seluruh wilayah Nusantara.
Dalam bidang pertanahan, terutama tentang hak kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah. Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menjelaskan ketentuannya dalam kitab Fathul Jawad yang memuat ketentuan fikih yang diantaranya Ihya’ul Mawat. Dalam pasal 28 UU Sultan Adam Kerajaan Banjar, dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di daerah Halabiu dan Negara harus dibawah kekuasaan kerajaan. Karena itu tidak boleh seorang pun melarang orang lainmenggarap tanah tersebut kecuali memang di atas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa tanah itu sudah jadi milik penggarap terdahulu. Ketentuan ini sesuai dengan fikih Islam yang menyatakan bahwa tanah liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan negara dan siapapu yang yang mengarapnya adalah pemiliknya. Amat banyak keistimewaan-keistimewaan yang tak mampu di paparkan disini. Dengan demikian, sebagai kesimpulan umum, nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu dan terealisasi secara menyeluruh dan sistemis. Kemakmuran, kedamaian, ketenteraman benar-benar bisa dirasakan pada waktu itu.
HUBUNGAN DENGAN KHILAFAH
|
Hubungan Khilafah dengan Kesultanan Nusantara |
Institusi politik yang ada di Nusantara ini kelihatan memiliki hubungan dengan Khilafah Islamiyah. Diantara yang menunjukkan hal ini adalh saat Islam masuk di Indonesia, diantara pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh Khalilfah melalui walinya. Misalnya, pada tahun 808H/1404M. Pertama kali para Ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi) dari Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan Wali Songo). Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode.
Mereka adalah Maulana Malik ibrahim ahli tata negara dari Turki Utsmani, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana malik Israil dari Turki Utsmani, Maulana Hasanuddin dari palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai yang merupakan bagian integral dari Daulah khilafah Islam. Yang mengantar Syekh Maulana Malik ibrahim dan Maulana Ishaq ke tanah Jawa adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah pengusa Samudera Pasai antara tahun 1349-1406M. Pada periode 1421-1436M datang tiga da’i Ulama ke tanah Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syekh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu putri Raja Campa Kamboja (Sunan Ampel), kemudian Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
|
|
Mulai tahun 1463M makin banyak da’i Ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas dakwah. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga ) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Ma’dum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qosim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit. Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur dikalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah Kesultanan yang akan menerapkan institusi politik islam tinggal menunggu waktu.
Hubungan tersebut juga tampak antara Aceh dengan Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa para raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki mau menolong mereka. Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada tempur yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu Aceh yang terkepung penjajah. Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas Jihad yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal perang yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki saat ini.
|
Lambang Khilafah Utsmaniyah di Turki |
Hubungan ini tampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Kadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048H (1638M) dianugerhi gelar Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah tahun 1051H (1641M) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638M, Sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan Syarif Zaid di Makkah. Hasil misi ke Makkah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan Kesultanan Banten sejak awal adalah Darul Islam di bawah kepemimpinan Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah di istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan dari Syarif makkah.
Hubungan erat ini tampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanul Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa Kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya (1300-1922M). Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah untuk meminta bantuan meriam. Khilafah kemudian mengirim 500 orang pasukan Jihad dari Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567M, Sultan Salim II dari pusat mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgronye menyatakan, “ Di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama di Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar keseluruh penduduk Muslimin di Indonesia.”
Pada akhir abad ke 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Qur’an atas nama Sultan Turki. Di Istanbul juga dicetak tafsi al-Qur’an berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam.” Pada masa itu, yang disebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Islamiyah yang berpusat di Turki.
Pada masa itu, yang yang disebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Islamiyah yang berpusat di Turki. Sultan turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki. Selain itu, Snouck Hourgronye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat pada umumnya di Indonesia, terutama yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istanbul, kedudukan Khalifah utsmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih tetp dipandang sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikiran bahwa “Sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberi penghormatannya pada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Islamiyah era Utsmaniyah.
Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah era Abbasiyah di Mesir dan era Utsmaniyah di Turki telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudera Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Makkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram Jawa oleh Syarif Makkah. Seperti diketahui Makkah adalah bagian dari wilayah inti Daulah Khilafah Islamiyah. Dengan mengacu pada format sistem kekhilafahan saat itu, Syarif Makkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di makkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhan sebagai Sultan. Sebab Sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar Sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu di Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat Khilafah Utsmaniyah di Turki.
REDUPNYA PENERAPAN ISLAM
Berkembangnya dan diterapkannya Syariah Islam oleh hampir seluruh Kesultanan Islam di indonesia menyebabkan pemerintah Belanda berupaya sekuat tenaga untuk menghancurkannya. Upaya-upaya sistematis segara disusun untuk merealisasikan rencana tersebut. Salah satu langkah penting yang dilakukannya adalah infiltrasi pemikiran dan politik melalui Snouck Hourgronye. Dia menyatakan musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama tapi Islam sebagai doktri politik. Selain itu juga Snouck Hourgronye, dalam ceramahnya di depan Civitas Akademia NIBA (Nederlands Indische Bestuurs Academie), Delft tahun 1911 memberikan penjelasan tentang politik Islam, yaitu: (1) Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama hendaknya pemerintah bersikap netral, (2) Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan, (3) Tiada satu pun bentuk Pan Islam (persaudaran Islam) boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. Doktrin ketiga ini yang akhirnya mengilhami pemerintah Belanda memberangus setiap kelompok atau gerakan Islam yang berbasis politik, sekaligus menanamkan “image” yang dipaksakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan politik, atau politik harus dipisah dengan agama.
Dari pandangan Snouck tersebut diformulasikan strategi yang dipakai untuk melemahkan dan menghancurkan Islam yang meliputi 3 katagori:
Pertama, memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah Kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Banten langsung diserang dan dihancurkan oleh VOC. Setelah VOC dibubarkan tahun 1799M, dan diambil alih langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, maka keluarlah Ordonansi yang mencabut penerapan Islam di Banten. Seluruh penerapan Islam dicabut lalu diganti dengan peraturan kolonial.
Kedua, melalui kerjasama antara raja/sultan pengkhianat dengan penjajah Belanda. Pelaksanaan Syariah Islam tergantung pada sikap Sultannya. Di Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda. Kesetiaan Amangkurat I dengan Belanda dibuktikan dengan membantai 7000 Ulama dilapangan Surakarta. Perlawanan dilakukan oleh santri Giri dipimpin oleh Trunojoyo dan berhasil membunuh Amangkurat I. Pada masa Amangkurat II yaitu anak dari Amangkurat I, bekerjasama dengan VOC menyerang Giri Kedaton. Ulama serta santri di Giri dibantai bahkan semua keturunan Sunan Giri juga dihabisi.
Ketiga, Soft power, yakni dengan menyebarkan orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor Inlandsche Zaken yang lebih dikenal dengan kantor agama (penasehat pemerintah dalam masalah pribumi). Secara kasat mata nampak memperhatikan umat, tapi banyak mengeluarkan ordonansi (UU) yang seolah-olah Islami, padahal mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hourgronye.
Kantor ini selanjutnya mengeluarkan Ordonansi-ordonansi yang menghambat Islam dan perkembangannya. Sebagai contoh adalah Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, ynag dimaksudkan agar politik tidak mencampuri masalah agama (sekulerisasi). Ordonansi Perkawinan tahun 1905, yang memberikan kesempatan kawin di catatan sipil, mewajibkan seseorang hanya beristri satu dengan menutup pintu poligami, sedang perceraian hanya jatuh bila dilakukan melalui peradilan. Ordonansi Pendidikan, yang bertujuan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang harus mampu menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Peraturan Islam dianggap merupakan rintangan yang paling besar. Ordonansi Guru, tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta ijin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923 merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah secara langsung maupun tidak, Syariah Islam mulai diganti. Dalam bidang politik, pemerintahan dan kriminal, pemerintah Belanda langsung mengganti Syariah Islam dengan memberlakukan hukum Hindia Belanda. Sedangkan hal-hal yang bersifat pribadi atau privasi, menggunakan ordonansi yang fungsinya melemahkan Syariah Islam, mulai pernikahan hingga pendidikan.
PERHATIAN ULAMA DAN POLITISI ISLAM TERHADAP KHILAFAH
|
Keruntuhan khilafah dalam Nieuwsblad Hindia-Belanda |
Belanda terus menghancurkan Islam. Namun, semangat persatuan Islam tak pernah pudar. Ketika Khilafah Islamiyah dihancurkan oleh Inggris pasca perang dunia I, melalui konspirasi politik jahatnya dengan Mustafa Kemal (seorang Yahudi Dunnama warga negara Khilafah pro Barat yang mengaku sebagai Muslim taat yang kebetulan memegang posisi militer strategis di tubuh Daulah Khilafah), dunia Islam mengalami kegoncangan. Upaya untuk mengakkan kembali Khilafah pun dilakukan. Tak ketinggalan juga Ulama-ulama dari Indonesia. Untuk menyatukan langkah perjuangan, para Ulama Indonesia pada tahun 1922M mengadakan kongres Islam di Cirebon dan pada tahun 1924M di Garut.
Berikutnya, pada tahun 1926M diadakan Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindias Syarqiyah (Konferensi Dunia Islam cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diadakan oleh Ibnu Saud. Tahun 1924M, Syarif Hussein Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang terdiri dari 9 Sayyid ditambah 19 0rang perwakilan daerah negara lainnya. Dua orang perwakilan dari Jawi (Indonesia). Pada 13-19 Mei 1926M diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Indonesia hadir H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Pada 1 Juni 1926M, diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 orang utusan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan KH. Mas Mansur (Muhammadiyah). Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dengan kapal Rondo dan di elu-elukan oleh masyarakat. Teriakan Takbir dan seruan Khilafah mengiringi pelayaran mereka ketika itu. Sesampai di Tanjung Periuk, banyak pemimpin Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke Pelabuhan.
|
Kafilah Hindia-Belanda menuju Kongres Khilafah Makkah 1926 |
Kongres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya
Kongres Khilafah kedua di Makkah. Indonesia diwakili oleh Haji Agus Salim (Sarekat Islam). Hasilnya Raja Saud (yang merupakan agen Inggris) dalam sambutannya tidak mengiginkan dibicarakannya masalah Khilafah dalam kongres tersebut. Sehingga kongres akhirnya gagal. Ini semua menggambarkan bahwa para Ulama dan tokoh politik Indonesia ketika itu menaruh perhatian sangat besar terhadap tegaknya Khilafah kembali. Bukan hanya Ulama, bahkan orang Islam Indonesia tertarik pada persoalan Khilafah pasca Perang Dunia I. Kaum Muslim Indonesia memandang kekuasaan Sultan Turki sebagai Khalifah.
PERJUANGAN TAK PERNAH PADAM
Perjuangan terus berlanjut. Pada 6 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya Sarekat Dagang Islam. Inilah momentum yang semestinya dijadikan tonggak kebangkitan Indonesia, bukannya Budi Utomo yang berdiri tahun 1908, yang digerakkan oleh para didikan Belanda. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan. Sementara Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan.
Perjuangan terus berlanjut hingga menjelang kemerdekaan. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang Islam yang menghendaki Negara Islam dengan kalangan sekuler yang menolak penyatuan agama dengan negara. Ringkas cerita, yang terjadi adalah kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan bahwa negara dibentuk berdasar kepada “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sekalipun demikian, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah, menegaskan beliau tidak menyetujui rumusan tersebut. Kata-kata bagi ‘pemeluk-pemeluknya’ harus dihapus. Cukup, dengan kewajiban menjalankan ‘Syariah Islam’. Tetapi, rumusannya tetap seperti itu. Jadi, perjuangan Islam berhasil dengan menetapkan pemerintah wajib menjalankan Syariah Islam bagi Umat Islam saja. Diantara tokoh yang menandatanganinya adalah Abikoesno Tjokrosujoso (Partai Sarekat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan KH A. Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama/NU).
Diproklamasikanlah Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya satu hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ‘dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret dalam sidang ilegal karena tanpa menyertakan para Ulama dan tokoh-tokoh politik Islam yang shalih sebelumnya. Panitia dalam sidang tersebut dikenal dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu Ulama mencabut restunya atas kemerdekaan Indonesia, karena merasa dikhianati. Kejadian yang menyolok mata ini, dirasakan Umat Islam sebagai suatu permainan ‘sulap’ yang diliputi kabut rahasia. Inilah awal dalam tubuh pemerintahan RI, tirani minoritas atas mayoritas Umat Islam. Pada 3 Januari 1946, urusan Islam hanya diurusi oleh satu kementerian. Didirikanlah kementerian Agama sebagai konsesi kepada kaum Muslim. Berikutnya 27 Januari 1953, Presiden Soekarno berpidato di Amuntai bahwa bila negara yang didirikan berdasarkan Islam, maka banyak daerah yang berpenduduk non-Muslim akan lepas. Pidato ini mendapat respon keras dari para tokoh dan organisasi Islam. Di antaranya NU, Front Muballig Islam, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Persis.
PB NU yang diketuai KH A. Wahid Hasyim menulis:
“.....Pernyataan bahwa pemerintah Islam tidak akan dapat memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dan akan menjauhkan Irian, menurut pandangan hukum Islam adalah merupakan perbuatan munkar yang tidak dibenarkan Syariah Islam dan wajib tiap-tiap orang Muslimin menyatakan ingkar atau tidak menyetujuinya.”
Kenyataan ini menegaskan bahwa NU sebagai organisasi para Ulama adalah salah satu pendukung Pemerintahan Islam dan pejuang-pejuang Syariah Islam. Cukup mengherankan bila ada yang membawa-bawa nama NU tetapi keras menentang aturan Allah yaitu Syariah Islam Betapa tidak, para tokoh NU dahulu berada di garda terdepan dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dengan semangat Jihad Fi Sabilillah, pada paruh akhir perang kemerdekaan demi tegaknya Syariah dan pemerintahan Islam. Tanggal 5 Juli 1959 keluarlah dekrit Presiden tentang kembali pada UUD 1945. Didalamnya ditetapkan juga,’.....Bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
|
Naskah Piagam Djakarta |
Syariah Islam terus disingkirkan. Berikutnya, perjuangan Islam semakin berat. Masyumi dibubarkan. Pada jaman Orde Baru, Islam di marjinalkan. Siapapun yang tegas-tegas menyuarakan Islam dituduh subversif dan dipandang sebagi musuh negara. Sekalipun di intimidasi, perjuangan Islam terus eksis bertahan. Pesantren merupakan benteng pertahanan terkuat. Berikutnya era 1980-an mulailah Islam menggeliat di kampus dan kota-kota besar seiring dengan tahun 1401H sebagai abad kebangkitan Islam. Dakwah Islam semakin semarak. Sejak momentum Reformasi, sekalipun sekulerisme Kapitalisme makin dihunjamkan, suara Islam justru makin nyaring terdengar. Seruan menerapkan Syariah Islam bergema di berbagai daerah. Muncullah Perda-perda (peraturan daerah) yang bernuansa Syariah Islam. Ekonomi berbasis Syariah pun mulai makin diminati. Seruan penyatuan umat ke dalam Khilafah pun makin nyaring terdengar.
Di Indonesia, selama puluhan tahun umat Islam di Indonesia dikebiri dan dibungkam oleh rezim Orde Baru. Sampai-sampai banyak umat Islam yang tidak mengetahui wajibnya menerapkan sistem khilafah sebagai jalan satu-satunya melaksanakan syariah Islam secara kaffah. Namun atas idzin Allah, fakta itu kini mulai berbalik. Ide-ide Islam berkembang sangat cepat, diluar yang diperkirakan kalangan penentang Islam. Tidak perlu waktu terlalu lama, ide Khilafah mulai mendapat tempat dihati umat Islam. Umat Islam bagai menemukan kembali “intan permata” yang selama ini hilang. Tidak bisa dipungkiri, terutama sejak masa reformasi, dakwah tentang Khilafah cukup gencar, baik lewat lisan, buku, bulletin, internet, dan media massa lain. Cahaya allah tak bisa dipadamkan.[dari berbagai sumber shahih]
TAKKAN ADA KEMULIAAN TANPA ISLAM, TAKKAN SEMPURNA ISLAM TANPA SYARIAH, TAKKAN TEGAK SYARIAH TANPA DAULAH KHILAFAH